Monday, December 31, 2007

Sampul Nyanyian Fajar 1975


Judul Album : Nyanyian Fajar
Jumlah Lagu : 13 Lagu
Terbit : 1975
Judul Lagu :
01.Lengganglenggung Badai Lautku
02.Nyanyian Maria
03.Di Deretan Rel-Rel
04.Beludru Sutra Dusunku
07.Bencana Tanah Negara
08.Nyanyian Fajar09.Di atas Sukapura 1
10.Nyanyian
11.Fajar Sampai FajarMusim
12.Sendiri
13.Katia, Amanda dan Aku

Kereta Laju

Kereta melaju berlari
Di atas kopor ku angkat kaki
Serasa melayang serasa terbang
Senyumku nterkembang walau kusendiri

Bawalah aku cepat berlari
Bawalah aku jauh pergi

Ai ai ai ai
Kum bam ba kum ba kum bam ba kum ba
Aahhhhh….

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Timor Timur

Hai tirani
Dengan senapan dan ujung bayonet
Tak dapat kau penjarakan jiwa kami
Dan di sini kami berdiri satu hati
Terus berjuang
Perjuangan yang kami perjuangkan
Tak akan sia-sia

Hmmmm..
Meki kiryu kiriano
Hmmmm..
Meki kiryu kiriano

Tubuh tubuh terbujur kaku
Diantara altar dan bangku-bangku
Rumput sabana jadi merah
Ternak-ternakpun musnah
Saudar telah tiada entah di mana mereka

Malam itu angin bernyanyi sedih
Pucuk –pucuk rumput bukit padas
Sekelompok awan putih serupa kuda-kuda
Bergerak dari barat ke timur

Sekelompok jubah hitam
Berlindung bayang-bayang
Bergerak dari timur ke barat

Hoya hoya hoya hoya hoya …
Hoya hoya hoya hoya hoya …

Menentang angin menentang panas
Segenggam tanah sekeping emas
Sepeti harapan yang kita kejari
Terbitnya hari tanpa tirani
Nyanyian hati ibu pertiwi

Hoya hoya hoya hoya hoya …
Hoya hoya hoya hoya hoya …

Ehmmm ….Timor Timur

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Tepi Surabaya

Betapa sepi
seorang nenek sendiri di tepi lalu coba menyapa
lewat mataair , kota lama ini
lewat tak berakar kaca kaca miskin jiwa

Tepi-tepimu Surabaya
di mana kita mulai semua ini
gema nyanyian pahlawan kini jadi nyanyian wayang

Tepi-tepi mu oh Surabaya
Gelap turun bagi jalan perempuan tua

Nenek, bukalah pintu yang kuketuk
Tapi tidak dengan airmatamu
Hidup selalu berubah
Lewat pasang surut Kali mas

Sinar lentera dalam kabut tipis
Belum juga mati menjelang pagi
Sinar lentera berkedip-kedip
Tidak juga mati menjelang pagi

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Silhouette Kathedral Tua

Menjulang tinggi di cakawala
Silhouette cathedral tua
Gelap hitam hanya puncak menara
Titian padamu menghadap dalam satin kelabu
Kini dunia nafsu semakin tua berkuasa

Menjulang tinggi di cakawala
Silhouette kathedral tua
Rahib tua dalam requim diriku
Kristus agung aku datang
dalam luka mengangah merah
asap mesiu ,melati putih di pelukku

katakan pada mereka mati mudaku demi negara
katakan pada mereka mati mudaku demi Negara

gloooooriaaaa...salam bagimu
gloooooriaaaa...salam bagimu
gloooooriaaaa...salam bagimu

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Di atas Bukit Utara Selaksa Bunga Rumput Goyang Bersama

Kukuuu…kukuku kuku kukukukuku..

Di atas bukit utara semalam
Malam larut tenggelam jauh
Di bawah kulihat lentera jalan
Berkedip kedip perlahan

Dengan sinarnya kuning temaram
Kini aku datang saying
Seindah matamu seindah rasa
Kini aku dating saying

Kukuuu…kukuku kuku kukukukuku..

Purnama terang tersaput awan
Birunya rintik perlahan
Selimut aku cinta di sana kuberdua
Hanya kaca menyapu baying

Dengan sinarnya kuning temaram
Kini aku datang saying
Seindah mata seindah rasa
Kini aku dating saying

Selaksa Bunga rumput goyang bersama
Dalam buaian angin semilir
Selaksa Bunga Rumput goyang bersama
Menyambut lembayung fajar hri yang baru
Menyambut lembayung fajar hari yang baru

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Nyanyian Tanah Merdeka

Seperti satu meriam kala meledak
Seribu bedil adakah berarti
Kalau laras laras sudah berbalik
Apalagi kau tunggu saudara
Ayo nyalakan api hatimu
Seribu letupan pecah suara
Sambut dengan satu kata “ Merdeka ! “

Merah putih mawar melati
Merah putih bara hati
Merah putuh mawar hati
Merah putih setiap hati

Bunga-bunga berguguran
Di sana di bawah panji
Tanah airku tanah merdeka

Bunga-bunga berguguran
Di sana di bawah panji
Tanah airku tanah merdeka

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Kaki Langit Cintakuh Berlabuh

Angin malam yang berbisik padaku
Mengapa bersedih
Pilar pilar tegar gema memanjang
Abadi cintaku

Burung malam kini terbang
Melintasi langit terang
Memikikkan kesunyian hati

Bintang bintang yang berkedip padaku
Mengapa sendiri
Kau pergi dan tak pernah kembali
Tepati janji

Lampu lampu mulai kelam
Jelang dingin berselimut kabut
Kapal kapal mulai turun ,mulai turun
Mengangkat sauh
laut kelam kaki langit cintaku berlabuh
laut kelam kaki langit cintaku berlabuh

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Pohon Tua Ranting Kering

Gesss ah gess gess….
Gesss ah gess gess….

Daun-daun rontok berkali kali
Lagi masih sepagi ini
Angin debu menyapu segala
Menerbangkan nyala menghilang
Kedamaian, cinta segalanya

Dimana kuperlu berdiri disini
Tak ada tangisanmu
Pohon tua tinggal ranting kering
Setelah lewat tikungan akhir
Dataran biru selamat tinggal

Tinggal aku dalam sepi
Ah ah ah
Hu huh huh huh huh..

Pohon pohon tua
Ranting ranting kering
Pohon pohon tua
Ranting ranting kering

Lai lai lai lai lai lai
Lai lai lai lai lai lai

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Hitam Putih

Pagi itu di empat lima
Kami semua menyanyikan semua bebasnya negri
Pagi itu di kaki lima
Kami semua menyanyikan lagu bersatu negri

Di tanah merdeka ini putih tetap putih
Di tanah merdeka ini hitam tetap hitam
Janganlah kau cemas mari menyanyi
Hmmm hoa hoa hoa…

Pagi ini di sudut jalanan
Seorang gelandangan menyanyikan lagu bagimu negri

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Lewat Kiara Condong

Lewat Kiara Condong kereta laju
Panorama di sana memaksa ku tersenyum
Bocah bocah tak berbaju
Berlari lari disepanjang tepi
Di setiap detak roda yang ke lima
Bergerombol bocah-bocah

Bermain gunduh kudaku lepas
Mengejar laying sampai ke awan
Bermain gunduh kudaku lepas
Mengejar laying sampai ke awan

Ohh..bilakah mereka mainkan buku dan pena di tangan ?

Lewat Kiara Condong kereta laju
Seorang gadis telanjang dada
Basah rambutnya berkeramas
Sempat kulihat tisik kainnya
Dibalik dinding bambu reot dan tak beratap

Ketika lewat Kiara Condong
Matahari tidur…
Ketika lewat Kiara Condong
Di sejuk …

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Salam Dari Desa

Kalau ke kota esok pagi smpaikan salam rinduku
Katakan padanya pdi padi telah kembang
Ani ani seluas padang rda gilang berputar putar
Siang malam tpi bukan kami punya

Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya tebu-tebu telah kembang
Putih-putih seluas padang
Roda lori berputar –putar siang malam
Tapi bukan kami punya

Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
Nyanyi nyanyi bersama-sama di tanah-tanah gunung
Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
Nyanyi nyanyi bersama-sama tapi bukan kami punya

Tanah pusaka tanah yang kaya
Tumpah darahku disana kuberdiri
Di sana kumengabdi dan mati dalam cinta yang suci

Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya nasi tumbuk telah masak
Kan kutunggu sepanjang hari
Kita makan bersama-sama berbincang-bincang
Di gubuk sudut dari desa

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Roda Pedati

Roda pedati telah menunggu
Selamat tinggal
Salam bagimu cinta dan doa adik
Cakrawala langit biru tidurku

Roda pedati malam sepi ini
Dingin beku
Salam bagimu cinta dan doa adikku

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Surabaya

Engkau keras dan sombong
Engkau kasar dan angkuh
Engkau kotor penuh nafsu
Keringatku bercucuran di deretan rel-rel
Keringatku bercucuran di deretan bordel
Keringatku bercucuran di deretan palka
Keringatku bercucuran di border trem-trem kota…

Ketika kau hadap matahari senja
Keringatku sirna oleh desir anginmu
Surabaya…
Surabaya…
Surabaya…
Aku cinta kau…

Hei bangun dan berdiri
Nyanyikan di timur matahari
Surabaya oh Surabaya
Surabaya oh Surabaya

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Hati Muda Ley Ley

Riuh di terminal bis malam
Seorang gadis gelandangan
Menangis tersedu di sudut
Gagal mencuri nasi
Sedang di belakangku
Seorang bocah merengek-rengek
Sambil melemparkan kulit coklat
Ke segala sudut

Campur suara kaset yang merengek-rengek
..uhhh pusingnya…

hujan lebat lewat bis malam
di sisi cikar-cikar sayup
dengan percik lumpur jalanan
dalam jaket tua yang lemah
kududuk di sisi pak supir
dengan mata burung hantu malam

Bersama hilangnya bayangmu
bis malamku tiba
lai loley ley lai loley lai loley ley
oleo ooooo..
lai loley ley lai loley lai loley ley
oleo ooooo

Sepi di terminal bis malam
Lampu lampu neon telah padam
Ketika kutersandar letih
Sesekali suara memaki
Senda gurau menjelang pagi
Membuat hati resah berahi
Senyum yang kucari tiada jumpa
Betapa rinduku….

Hati muda ley ley
Hati muda ley ley
Hati muda ley ley
Hmmmmmm……

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Kereta Laju

Kereta melaju berlari
Di atas kopor ku angkat kaki
Serasa melayang serasa terbang
Senyumku nterkembang walau kusendiri

Bawalah aku cepat berlari
Bawalah aku jauh pergi

Ai ai ai ai
Kum bam ba kum ba kum bam ba kum ba
Aahhhhh….

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Nyanyian Malam

Senandung sepi
Di gelap malam
Burung-burung hantu

Hanya setitik sinarmu
‘tika kuberjalan
Di sisi terali-terali
Setinggi lima kaki

Yang membatasiku
dengan dunia kelilingku
Dengan cinta di hatimu
dengan keagungan mu

Hanya setitik sinarmu
‘tika kuberjalan
Di sisi terali-terali
Setinggi lima kaki

Rakakakuku..burung hantu
Rakakakuku..burung hantu
Senandung sepi di gepal malam

Lailailailailai….
Lailailailailai….
Lailailailailai….
Larilah larilah hari

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Baptis Theresia

Lewat kegelapan gaun panjangmu
Dalam kerudung putih imanmu
Engkau jadi nampak teduh
Pada Dia yang agung
Pada kesucian sangkakala hari yang megah

Aku mendekap cintamu Theresia
Seakan dentang lonceng katedral tua
Terdengar dalam hujan dan angin lama
Sedang aku berdiri diluar sana
Sendiri dalam airmata bahagia

Kutuliskan namaMu, oh kutuliskan namaMu
Lewat putra lelakiku
Kutuliskan namaMu, oh kutuliskan namaMu
Lewat putra lelakiku

Hemmmm…ohhh..

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Anna Rebana

Pada malam penuh bintang-bintang
Setelah lewat
perahu tambang, keranjang kubis daun pisang

Lorong becek Setelah tutup pasar
Berdiri Anna
Lelakinya dan rebana

Anna oh rebana
Anna Anna rebana
Kujumpa kau penari sombong
Lelakimu bersandar ditiang bedak
Kau dalam gaun merah tipis
Menarikan rebana
sambil kau gerai rambutmu yang panjang

Hanya kau dan dia
Anna Anna rebana
Hanya kau dan dia
Anna Anna rebana

Dan aku teringat pada istriku
Saat-saat kebersamaan jelang tidur malam
Menarikan nyanyian cinta birahi
Lewat gaun tidurnya yang putih…

Debar rinduku debar debar rinduku padanya
Debar rinduku debar debar rinduku padanya
Komedi kera di pasar malam
Seperti cermin hidup hari ini
Burung punuk menunggang kera
Kera menunggang kuda
Lecut panjang si pawing muda

Tapi tidak bagi si Anna
Bersama lelakinya dan rebana
Laju-laju di sepeda tua
Tertawa kecil juga dalam canda diri cerita lama

Ya tepi pedesaan gersang
Sore lenggang saat bocah bermain laying-layang
Perawan Anna lelap di surau
Sambil menghisap ibujari di mulutnya yang lebar
Manakala angin bertiup seiring suara azan
Rebana hilang
Anna terbangun ulah bocah lancang
Berbisik kepadanya dalam isak tangis
Dan ketika hari mulai gelap
Seorang lelaki dengan genggam tangannya yang berat dan kuat
Mengulurkan sebuah rebana seraya berkata
“ kau ! dalam seluruh waktu lewat hidupmu
mainkanlah ini bagi Dia yang mempertaruhkan segala bagimu
berbahagialah kau Anna…


Allahhuakbar..
La illahaia Allah…

Dan aku teringat pada istriku
Saat-saat setelah suara azan petang
Kami duduk berhadap-hadapan
Dengan senyum memandang ke depan

Anna oh rebana
Anna Anna rebana

Musik dan Lirik oleh Leo Kristi

Siti Komariah Ikal Mayang

Engkau membaca ayat-ayat suci
Dan menghitung setiap dencing pundi-pundi
Aku teringat akan ibu di sana
Yang tak pernah membaca apa-apa
Hanya menghitung setiap hati manusia
Hanya menghitung tangis manusia
Hanya menghitung setiap jerit manusia

Dalam temaram sinar lembayung senja
Kau seakan satu monument kartini
Dengan seribu gemerlap sinar permata
Bibir merah bergincu tebal
Siti Komariah Komriah selamat tinggal
Siti Komariah Komriah selamat tinggal
Siti Komariah…

Siti Komariah di sini
Ibu rasa jauh sekali
Hari lewat hari
Jangan nurani hilang di diri

Siti Komariah ikal mayang
Si ikal ikal mayang
Siti Komariah ikal mayang
Si ikal ikal mayang

Lirik dan lagu oleh Leo Kristi

Dirgahayu Indonesia Raya

Lalalalala…lalalalala…lalalalala..

Iringan bendera kemenangan
Terlalu gegap gempita
Menyongsong irama kakiku
Lelah kaki lima Ibukota

Ada seribu matahari bersinar
Diantara silaunya aspal jalan
Kakiku terhantuk batu batu hitam tajam
Di selah gembira lagu-lagu mars kemenangan

Aku teringat akan bapakku
yang bersujud di dlaam gelap gulita di sana

Ada seribu matahari bersinar
Diantara silaunya aspal jalan
Dirgahayu dirgahayu
Indonesia Raya
Dirgahayu dirgahayu
Indonesia Raya

Lagu dan Lirik oleh Leo Kristi

Nyanyian Tambur Jalan Komedi Badut Pasar Malam

Tunjuk menunjuk dalam lingkaran
Komedi badut badut
Dimana diri seorang penyair
Dimana diri seorang penyair

Bayar menbayar dalam lingkaran
Komedi badut badut
Di mana diri seorang peduli
Di mana diri seorang peduli

Jerat menjerat dalam lingkaran
Komedi badut badut
Dimana diri seorang pemimpin
Dimana diri seorang pemimpin

Hari hari di luar di sini
Senandung kaum oh biasa
Hari hari tegap melangkah
Senandung kaum oh biasa

Ning ning nang ning nang ning
Ning nang ning nang ning

Todong menodong dalam lingkaran
Komedi badut badut
Dimana diri seorang ksatria
Dimana diri seorang ksatria

Esok hari tak perlu kau jawab..senapan
Esok hari tak perlu kau jawab..senapan
Esok hari tak perlu kau jawab..senapan
Esok hari tak perlu kau jawab..senapan

Door…

Lagu dan Lirik Oleh Leo Kristi

Sayur Asam Kacang Panjang

Terkantuk-kantuk belakang dayung
Aku tak pernah tidur
Dengan sepucuk jiran di perahu
Mungkin cukup sehari hidup

Sayur Asam kacang panjang
Hari esok akan panjang
Sayur asam kacang panjang
Hari esok cahaya terang hidup mengembang

Terkantuk-kantuk belakang lesung
Aku tak pernah tidur
Dengan sepucuk padi dan jagung
Mungkin cukup sehari hidup

Sayur Asam kacang panjang
Hari esok akan panjang
Sayur asam kacang panjang
Hari esok cahaya terang hidup mengembang

Terkantuk-kantuk belakang kampung
Aku tak pernah tidur
Dengan sekotak bayam dan jagung?
Mungkin cukup sepanjang hid Sayur Asam kacang panjang

Sayur Asam kacang panjang
Hari esok akan panjang
Sayur asam kacang panjang
Hari esok kusimpan lara, kusimpan rasa didasar hati

Lagu dan Lirik oleh Leo Kristi

Sunday, December 30, 2007

Sendiri

Meja kayu sepasang kursi
Bunga mawar merah dan putih
Nyala lilin sinar bintang
Sonata lembut petikan gitar

Sejuta genta di dalam hati
Sejuta benang engkau terpisah
Tak terjangkau oleh tangan
Jalinan panjang rambutmu sayang

Engkau sendiri kini
Aku sendiri kini
Selalu kita bersama
Walau hanya di hati lalailalaii
Sampai saatnya tiba

Musik dan Lirik oleh Leo Kristi

Fajar Sampai Fajar

Pernah kau berpikir
tentang kehidupan nelayan di pesisir
Dalam pondok bambu yang tua
bersinarkan terang minyak suram

Hidup dalam perahu layar
Dimainkan laut dimainkan ombak
Hidup dalam perahu layar
Sejak fajar hingga fajar

Musik dan lirik oleh Leo Kristi

Nyannyian Fajar

Hening sekelilingmu
Hening sekelilingmu
Kalu lihat fajar mulai menyingsing
Kau dengar suara azan pagi
Kau dengar suara beduk di surau
Hatimu menangis

Jangan bersedih Allah pengasih
Dengarlah padi mulai ditumbuk
Suara dari gubuk-gubuk
Dengarlah langkah gerobak sayur
Hampir tak mengenal tidur

Lihat gadis di sawah
Merah kuning jingga kebayanya
Dengan ani-ani ditangannya
Fajar di hatinya, fajar di hatinya

Bangun ayo bangun
Berjalan tegakkan kepalamu
Nyanyikan di timur matahari
Fajar di hatimu, fajar di hatimu

Musik dan Lirik oleh Leo Kristi

Nyanyian Maria

Berayun ayun kuncup ilalang
Lembayun warna cakrawala
Senja telah datang menjelma
Merangkak dating dihatiku

Kulihat kulihat gembala dan domba
mendaki bukit menuju mataair

Maria Ibunda …Maria
Di kakimu kubersujud
Tatapmu begitu sejuk dan teduh
Damai ..damai di hatiku

Kulihat kulihat nyala lilin
Dipuncak bukit menerangi …semua
Maria
Maria
Maria
Maria

Lagu dan Lirik Oleh Leo Kristi

Di Deretan Rel-Rel

Pagi masih sunyi seperti hatiku
Ketika kududuk dibangku peron
Tiada seorangpun menemani
Majalah dan Koran pagi tak banyak menolongku
Dan hati mulai bernyanyi

Olalai olai oleiei…oleilei oleieioleiei…
Olalai olai oleioi…oleilei oleoleioi…

Becek hujan turun semalaman
Menambah dinginnya pagi
Dengan seratus rupiah di kantong
Dapatkan rokok keretek , kopi panas dan goreng pisang
Di kedai pak guru tua

Olalai..olai oleioi…oleilei oleoleioi…
Olalai olai oleioi…oleilei oleoleioi…

Saat pulang kini telah tiba
Kereta pagi berangkat siang hari
Satu gerbong seratus penumpang
Di sela-sela tumpukan keranjang dan karung-karung
Perempuan berteriak ribut
Bayi-bayi menangis

Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu
Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu
Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu

Lalalallalalala..lalalalalallalalla……

Lihat kereta apiku mengeluh
Lihat kereta tua mengeluh

Lagu dan lirik oleh Leo Kristi

Konser Rakyat Leo Kristi


"bimbo baru" dari surabaya ?Leo kristi, grup musik asal surabaya, tampil di teater arena tim, kadangkala kekanak-kanakan & kelewat an. tetapi sangat menarik penonton. sebelas lagu dibawakan. mereka menyebut diri konser rakyat. (ms)

PENONTON Teater Arena TIM 10 Oktober yang lalu -- bertepuk riuh untuk "Leo Kristi". Grup asal Surabaya ini berhasil memberikan tampang yang jelas untuk konsernya yang seperti melata ke masyarakat nelayan. Mereka memiliki kesederhanaan yang mirip dengan kesederhanaan Bimbo pada saat-saat grup Kota Kembang itu baru muncul. Entah karena kesederhanaan sedang menjadi "pelarian" pada saat ini, atau kerinduan pada"rakyat" memang sudah waktunya, "Leo Kristi" yang memulai penampilannya dengan memekik: "Hai! Hai! Hai!" memikat perhatian sampai usai."Apakah yang terjadi, hai di situ/kiranya nelayan muda kembali hanya perahu/tinggallah isteri lama bersedih menunggu...", terdengar sebagian lirik mereka. Leo dan Nanil menggiringnya dengan gitar akustik.
Sementara Mung memegang bass, Lita dan adiknya Jilly dengan bersungguh-sungguh menarik suaranya, membuat pertunjukan tersebut manis. Kadangkala agak kekanak-kanakan, serta kadangkala juga sedikit kelewatan manakala muncul keinginan untuk membuat intro yang berbobot sementara materi yang mau disuguhkan terlalu sederhana."Yah lumayan", kata Slamet Abdul Syukur, seorang dosen LPKJ yang baru saja hijrah dari Perancis. Ia menandai warna Latin dan Spanyol dalam musik anak-anak muda itu tetapi yang sekedar pengaruh-pengaruh permukaan. Hal mana mudah sekali terjadi pada setiap orang yang sedang membukakan dirinya.
Amat berbeda dengan percobaan almarhum grup "Beatles" yang sengaja mempelajari musik India dahulu di negeri asalnya. "Beatles" ke sana karena memilih dan berusaha menyentuh inti suara sitar. Album-album mereka yang kemudian lahir akibat pergeseran dengan musik tersebut bukan semata-mata hasil operan tetapi ekspresi "Beatles" yang utuh. "Barangkali sudah waktunya sekarang untuk berhenti menutup diri untuk mencari orijinalitas, sebagaimana sering dilakukan oleh banyak orang", kata Syukur, "dengan lancarnya komunikasi kita sekarang harus mendengar sebanyak-banyaknya untuk bisa orisinil dalam musik".
Abdul Syukur yang pernah mencatat kemenangan untuk komposisinya dalam sebuah kompetisi yang bersifat internasional di Paris.Kembali pada "Leo" Surabaya ini keseriusan publik pada malam itu banyak sekali membantu. Leo Imam Sukarno sendiri merasa kagum, sehingga lagu Mana yang dilantunkan oleh Monica Maria Lita Jonathans -- 16 tahun -- dengan suara lirih dan lembut, sampai dengan bagus. Lagu ini diciptakan oleh Leo yang beragama Islam, 27 tahun, dan ternyata jebolan Institut Teknologi Surabaya. Ia berharap benar agar temperamen grupnya yang didirikan pada awal 1976 dibedakan dari "Bimbo". "Mereka itu seperti petani, yang mempunyai masa menunggu sebelum panenan. Mempunyai kesabaran dan ketelatenan untuk mengusir hama", ujar Leo,"berbeda dengan kami yang tinggal di Surabaya dekat laut. Kesabaran memang tipis, perangai ibarat nelayan, yak opo tek lek kuli-kuli pelabuhan nyanyi".
Temperamen Laut
Sebelas buah lagu disampaikan malam itu. Aransemennya digarap sendiri dan dilaksanakan dengan kompak. Dinamik dan cukup terkendali. Leo Kristi telah membuat penonton penasaran untuk berteriak: "Tambah! Tambah! Terus!"Dengan peluh berceceran, mengenakan seragam hitam mereka kemudian menyanyikan lagu yang bernama Katis, Kaita dan Aku. Ada sesuatu yang puitis dalam suguhan-suguhan mereka. Leo dan kawan-kawannya sering melakukan "observasi langsung" ke masyarakat nelayan. Tidur bersama mereka, lalu mencoba menyelami hidup sehari-hari mereka.
Tapi di samping melata, Leo sempat juga menyanyi untuk rakyat Timor Timur sambil berkata: "Saya tertarik akan kembalinya saudara kandung kita, itu kan hal yang serius, kami tertarik bukan karena peristiwa politiknya".Leo mengaku telah punya sekitar 30 buah lagu, seluruhnya berbahasa Indonesia. Tak lama lagi dia akan masuk ke dalam dunia kaset, lalu besar kemungkinan akan mulai berdagang juga sebagai grup-grup lainnya setelah musiknya nanti mulai diperjual-belikan.
Temperamen laut yang menjadi tulang punggung musiknya, sebagaimana mereka akui sendiri, barangkali benar hanya menyentuh permukaan. "Saya membicarakan kehidupan sehari-hari secara sederhana, yang menarik dan lucu. Bicara tentang rakyat kecil? Omong kosong!" Demikianlah: kendati telah sering bergaul dengan para nelayan, toh mereka tak yakin bahwa orang yang langsung bergumul otomatis peka terhadap persoalan."Leo Kristi" dengan awak 5 menyebut dirinya Konser Rakyat. Belum tergiur untuk menampilkan lagu-lagu protes. Dan terhadap pertanyaan mengapa ia nyontek petikan gitar Spanyol, jawabannya nyelekit juga: "Habis, petikan gitar yang asli Indonesia yang mana sih?"

Source : Tempo Edisi. 35/IIIIII/30 Oktober - 05 November 1976

Saturday, December 29, 2007

Sepur

saat pulang kini telah tiba
kereta pagi berangkat siang hari
satu gerbong seratus penumpang
di sela-sela tumpukan keranjang dan karung-karung
perempuan berteriak ribut
bayi-bayi menangis
huuu, jalan menuju kota, gaduh slalu…

Ketika Leo Kristi menulis lirik lagu di atas, Di Deretan Rel-rel, yang dirilis tahun 1976 dalam album “Nyanyian Fajar”, saya agak yakin, dia tidak sedang mengkritik siapa pun. Tidak sedang mencemooh jawatan kereta api, Menteri Perhubungan, atau bahkan pemerintah. Ia tentu (hanya) sedang memotret, memandang dan merekam realita, mengemas kesaksian, menjadi sebuah senandung penuh penghayatan. Setidaknya, di sana ada suara peluit masinis, gojes-gojes mesin uap lokomotif yang ditiru oleh mulut Leo secara ekspresif. Di sana hadir suasana yang kita acap tahu, bahkan mengalami.
Kereta api, alias sepur, hampir menjadi bagian dari pengalaman kita semua.
Oleh karena itu, tak seorang pun asing dengan nyanyian masa kecil: Naik kereta api tut-tut-tut, siapa hendak turut? Ke Bandung, Surabaya. Bolehlah naik dengan percuma. Ayo temanku lekas naik. Keretaku tak berhenti lama…
Tapi sekarang ini, mana ada kereta api yang kita tumpangi dengan gratis? Banyak, jawab teman saya. Hah, apakah itu di sebuah taman wisata yang memang menyediakan fasilitas kereta-mini untuk keliling area menikmati tiap sudut tempat? Ternyata bukan. Ini sungguhan. Ada jadwal, strategi, dan tempat, yang akhirnya menjadi rutin dan bagian dari ‘langganan’. Pada jam tertentu, dari stasiun tertentu, di Jabotabek ini, ‘disediakan’ kesempatan untuk membayar separuh tarip kepada kondektur. Dengan kata lain, tidak membeli karcis. Ada juga, pada kesempatan yang lebih tertentu lagi, penumpang akan diantar ke wilayah tempat tinggalnya tanpa membayar, karena memang tidak ada lagi pemeriksaan.
Andai Jawatan Kereta Api senantiasa rugi, percayakah kita? Dengan praktik yang tidak patut itu, tentu saja, apa boleh buat, bisnis kereta api merugi. Terlepas dari kondisi itu, fasilitas apa sebenarnya yang diberikan jasa transportasi orang banyak itu kepada penumpang? Tempat duduk di atap gerbong? (Tentu ini kemauan penumpang, tapi seharusnya dilarang). Sebuah toilet yang layak? (Kadang-kadang menjadi ruang penumpang cadangan, atau tempat ngumpet si penumpang gratis, walau aroma amoniaknya menyengat). Jadwal yang tepat waktu? (Ah, oleh seringnya terlambat, justru aneh jika kereta api tiba persis dengan skedul).
Padahal, dengan rel yang secara spesifik berbeda karakter dibanding jalan raya, kesempatan untuk istimewa tentu lebih banyak. Sebuah bus malam boleh antre karena jalan yang dilaluinya dipenuhi truk-gandeng yang merayap lamban, atau terpaksa berhenti oleh kereta api yang melintas di depannya. Travel sekalipun, bisa kempes ban dan harus menepi ke restoran saat penumpangnya hendak rehat makan, sedangkan kereta api semacam rumah kita sendiri, bisa makan seraya memandang lanskap di luar jendela. Atau datanglah ke gerbong restorasi, dengan meja makan yang nyaman.
Tapi kita perlu transportasi yang murah, ujar sebagian rakyat. Mengapa tidak? Murah bukan berarti terlambat berangkat, atau mendapati lantai yang kumuh. Murah bukan berarti masinisnya lena lalu melanggar rerambu. Murah bukan berarti – astaga – penumpang naik lewat jendela karena pintu tak lagi dipercaya, terutama di saat mudik Lebaran. Keamanan bagasi kita juga seharusnya menjadi jaminan bagi tenangnya perjalanan. Sementara, pada musim kompetisi sepakbola nasional, kereta api bergegas cemas oleh perilaku anarkis para bonek. Menunduk pun tak luput dari lemparan batu.
Oh, Indonesia! Mari kita ulang nyanyian Leo Kristi, yang tidak sedang mengkritik siapa pun:
Pagi masih sunyi seperti hatiku
Ketika kududuk di bangku peron

(Kurnia Effendi, untuk Jeda tabloid PARLE edisi 64)

Sepanjang Braga, November 24, 2006

Pojok Kafe Simpang Lima

Hanya keajaiban yang mempertemukan kita di sini.
Di pojok Kafe Simpang Lima.
Dan katamu, selalu, tetap ajaib!

APA yang sebenarnya kita tunggu setelah mereka, anak-anak kita, memiliki sayap masing-masing dan terbang jauh dari rumah kita? Apa lagi yang mesti kita tunggu beribu jam berjuta detik di tempat sunyi ini? Bukankah kesepian itu semakin indah ketika kita mampu menikmatinya tanpa keluhan? Sepi itu semakin membahagiakan ketika kita punya banyak waktu luang untuk seutuhnya menatap matahari senja turun perlahan ke punggung perbukitan. Sepi itu menjadi sangat berharga saat kita dapat berlama-lama duduk dengan dua cangkir teh di atas meja marmar tua. Meja itu, dengan paras abu-abu muda penuh cecabang urat yang dibentuk oleh endapan sendimen tahun demi tahun, bervariasi antara hitam muda dan kelabu tua, menjadi buku harian yang mencatat waktu berjalan. Semua itu kemudian mengingatkan kita pada sebuah kafe di pojok Simpang Lima…

Pojok kafe Simpang Lima
Sepanjang sore dan petang hari
Kaki lima rumput kota
Semarang… **

Syair yang ditulis oleh Leo Kristi itu seperti melagukan percintaan kita yang tak pernah surut lelatunya. Senantiasa meletik-letik. Kini kita tak muda lagi, kita menyadari benar, seperti juga lagu romantik itu, yang melayang-layang pada gelombang radio nyaris sepenuh tahun 1979. Tahun ketika semua pasangan merayakan cintanya dengan cara yang tak terpikir sebelumnya. Tahun ketika kapal-kapal pesiar mulai menghiasi dermaga pelabuhan-pelabuhan besar, menawarkan pelayaran asmara yang hanya pernah mereka temui dalam mimpi-mimpi berwarna. Bulan madu yang tercatat pada almanak biru, terkenang hingga anak-cucu.
Dan kita tenggelam di dalamnya. Bukan! Bukan dalam kapal pesiar atau balon udara yang melayang di atas pegunungan bersalju. Bukan dalam iringan musik Led Zeppelin atau Deep Purple yang sayatan gitarnya membuat jiwa melayang-layang, diberondong cinta hingga arang-keranjang. Seolah kita adalah sang musafir cinta yang akan mendaki tangga surga, bertemu dengan Tuhan yang telah menganugerahi sekaligus mengutuk kita dengan cinta. Cahaya itu, yang kadang memancar dari sepasang matamu saat berbicara, ah, telah menyihirku hingga tak lagi mendengar setiap kalimat yang terucapkan kecuali genangan kasih sayang yang terus saja meleleh dari pandanganmu. Lalu aku mirip sebatang lilin yang bersedia terbakar hingga habis demi apimu.
Kini, apa lagi yang kita tunggu setelah semua terpisah dari genggaman? Mereka, anak-anak kita, dengan sayap-sayap yang gagah merentang lebar, terbang jauh dan tak mudah diharap untuk kembali. Bahkan dalam Lebaran tahun ini.
Ada sebentang kontinen yang memperlebar jarak tempuh, ada sehampar lazuardi yang harus diseberangi dengan kesungguhan hati, ada samudera membiru yang telah menyerap rasa kangen mereka sebelum mulai berlayar. Dan kita di sini, seperti kotak surat yang tak mungkin mendapatkan kiriman sepucuk kartu pos, ketika semua peristiwa menjadi sangat gegas dan hanya mampu diikuti oleh berita nirkabel yang melintas melalui satelit, yang entah di mana sisik-sisiknya berhamburan. Kita, wahai kekasih, hanyalah tumpukan sejarah yang mulai diawetkan pada rak-rak pustaka. Mungkin dihampiri kembali untuk disentuh, dibaca, saat mereka, anak-anak kita itu ingin sesekali menziarahi asal-usul mereka.
Lihatlah, hari demi hari bergerak terlepas dari kemampuan kita menghayati. Gerimis yang kita tunggu tak juga turun ke bumi. Kemarau memanjang seperti ular yang melepaskan tidur panjangnya, mengurai lilitan tubuhnya dari sebatang pohon tua yang meranggas. Menimbulkan retakan-retakan tanah di sawah-sawah tadah hujan, mengeringkan bukit-bukit kapur, dan membuat kota Semarang bagai terpanggang api dalam temperatur tinggi matahari yang nyalang. Ekor retakan itu juga mencium pembaringan kita.
***

Cintaku, aku ingin tempat yang seperti dulu.
Ketika angin bebas menerobos tubuh muda kita.

ENTAH kenapa, aku selalu begitu percaya pada kata-katamu. Ucapan memabukkan yang telah menghamili dinding perut kerinduanku. Dalam tikaman waktu yang meruncing bulan demi bulan, melahirkan anak-anak yang riang. Anak-anak yang selalu memuja petualangan di dalam maupun di luar rumah. Melalui gambar-gambar yang tak terbatas dalam ruang kepala mereka. Atau dengan sepeda menyusuri kota tua menjelang pelabuhan kumuh di pesisir utara. Bermain layang-layang di ladang terbuka, seolah Juru Sungging bertahta di atasnya, melukis tubuh permaisuri dengan tahi lalat tertera di busung dadanya.
Aku tahu, kita memang selalu sama-sama merindukan tempat itu, sebuah sudut kafe di Simpang Lima. Yang sekarang tak ada lagi, kecuali jika menitis pada sebuah hotel bernama Horison. Seolah lambang cakrawala yang mempertautkan pandangan kita pada harapan yang sama. Kita memang selalu sama-sama merindukan tempat percik asamara itu dimulai, di pojok kafe itu. Ketika kedai lesehan belum menjamur di kaki-lima. Ketika Gedung Olah Raga belum menjadi tilas dan kini bahkan menjelma pusat perbelanjaan yang megah. Dengan berjuta lampu yang tampak bagai kunang-kunang dipandang dari bukit Gombel. Ketika di sudut tersembunyi ada sebuah sekolah ternama, tempatmu mengajar. Namun yang menjadi kepintaranmu adalah merayuku hingga sekujur tubuh bergetar tak tahu malu.
Menjelang pertengahan Ramadan, aku selalu merasa gelisah dan berdebar, bukan karena kitab yang kubaca tak akan tamat. Aku memang tak pernah khatam, sekalipun saat mengawalinya begitu bersemangat. Bukan juga karena selalu ada sekitar enam hari yang harus kulewati tanpa menjalankan puasa, dan tidak melakukan shalat. Bahkan saat ini, debaran itu tak kunjung henti, saat menstruasi tak pernah hadir lagi. Semua seperti sebuah kantung kisut yang hanya berisi cinta membara. Yang membuatmu selalu percaya, bahwa pertemuan kita selalu berharga. Acap kali aku ingin melupakannya, tapi selalu dirimu mengingatkannya. Melalui tembang yang seolah abadi dalam pikiran kita.

Pojok kafe Simpang Lima
Masihkah hangat seperti dulu
Kembang senyum kembang hati
Kaki-nini…**

Ah, tiadakah kita sadari, usia yang meluncur deras membuat kita lebih lekas sampai pada kerentaan? Inilah kenyataan yang tak mungkin kita pungkiri. Seluruh belulang merapuh oleh kapur yang terus-menerus menggerus. Ada sebutan yang layak untuk kita hari ini: kaki-nini. Sudah setua itukah kita? Apakah harapan yang kita kandung juga turut renta dan merapuh sebagaimana jumlah keriput pada wajah kita? Andai itu tampak oleh mata anak-anak kita?
Lalu apa yang sebenarnya kita tunggu setelah mereka, anak-anak kita, masing-masing memiliki sayap dan terbang jauh dari hati kita? Apa lagi yang mesti kita tunggu bertahun-tahun di tempat lengang ini? Bukankah kesepian itu semakin indah ketika kita mampu menikmatinya tanpa keluhan? Sepi itu semakin membahagiakan ketika kita punya banyak waktu luang untuk seutuhnya menatap rembulan berlayar di langit yang melengkung sempurna dengan sapuan warna indigo. Sepi itu menjadi sangat berharga saat kita dapat berlama-lama berbaring dengan masing-masing sebuah buku dongeng untuk dibaca. Buku itu, dengan kertas yang mulai menguning, namun tak pernah kisahnya membosankan, tentang seorang pangeran yang dengan kata-kata rayuannya selalu membuat sang puteri merasa hidup seribu tahun. Semua itu kemudian mengingatkan kita pada sebuah cinta yang pernah dan selalu kita miliki.

Di sini kita tak akan berpisah lagi, cintaku
Seperti ketika angin bebas menerobos tubuh muda kita

Uh, sudah tak ada air mata. Telah kering dari sumbernya. Seluruh hari yang berombak bagi kita adalah nyanyian ilalang yang merintih ditiup angin. Tapi, bukankah kita selalu bahagia? Bukankah kita akhirnya mendapatkan keajaiban itu? Bukankah akhirnya kita selalu bertemu seperti yang sesungguhnya kita inginkan bersama? Dalam deru asmara yang tak akan pernah memusnahkan tubuh kita, kecuali menjadi cahaya seperti yang pernah kuserap dari tatapan matamu. Aku tak tahu, karena kau tak pernah mengaku, apakah aroma tubuhku telah membuatmu bertahan untuk tidak menjadi murca oleh usia? Cinta kadang-kadang membuat kita saling berahasia.

Kemarin, hari ini
Hari esok, lubuk hati
Cintaku tak kan sepi
Dalam mengabdi
Kakek oh kakek, kakek
Nenek oh nenek, nenek…**

Bukankah kita selalu tersenyum mendengar lagu itu? Hal yang membuat kita sedikit cemas adalah kepulangan anak-anak kita, dengan sayap-sayap mereka yang merentang gagah. Kita tak sepenuhnya tahu isi hati mereka, apakah akan menjadikan kunjungan ke Semarang itu semacam ritual?
Ini tahun ke sembilan, ketika seharusnya setiap kejadian yang sama dan berulang akan terasa biasa. Atau, bahkan, bisa saja ini tahun keajaiban bagi kita, yang menghiasi Lebaran dengan pertemuan besar orang-orang tercinta. Tahun yang ditunggu-tunggu sekian lama. Ah, apakah sembilan tahun telah cukup lama? Bukankah kita selalu bahagia dalam kesepian agung ini? Sepertinya hanya senandung romantik itu yang selalu terngiang untuk menghibur perasaan kita…

Hari Raya kembang api
Lembar hari kembang hati
Pojok kafe lembar sepi
Sendiri… **

***
ANGIN pun reda.. Seperti takbir yang surut. Cuaca begitu santun. Ada beribu langkah kaki jamaah shalat Ied, meninggalkan lapangan. Meninggalkan halaman-halaman masjid. Suara ramah orang-orang adalah sebuah keajaiban. Sama sekali tak terdengar pertengkaran di antara mereka. Hati mereka, entah kenapa, seperti dilapis agar-agar, begitu lembut. Barangkali hanya untuk hari ini. Hari yang memalukan untuk berbuat kasar. Hari yang memalukan untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain, sekalipun sebesar gunung. Ah, tapi siapa sanggup menduga kedalaman hati manusia?
Kita nyaris tak peduli dengan semua itu, bukan? Kita hanya ingin ziarah pada bekas kafe di Simpang Lima, pada sudutnya, tempat benih cinta mulai tumbuh rimbun. Andai itu sebuah pohon, mungkin telah ditebang oleh gergaji waktu. Tapi rantingnya telanjur menjulang ke langit biru. Akar-akarnya telah merambat jauh ke dasar bumi. Buah-buahnya telah dipetik orang, dan mereka, dengan sayap-sayap yang lebar telah jauh terbang dari pohonnya.
Pada tahun 2025 itu, rasanya kita terburu saling berpelukan, untuk saling melupakan harapan kita. Biarlah mereka, anak-anak kita, bahagia dengan pikiran dan kesibukan masing-masing. Dengan demikian, kita pun bahagia di ranjang kubur ini. Sembilan tahun menanti, hanya doa dalam wangi melati yang turun ke bumi.
Barangkali kita tak lagi peduli, saat kaki-kaki mungil menginjak kerikil dan daun-daun kering yang berserak di halaman rumah kita. Ketika para ayah dan bunda mereka khusyuk memanjatkan tahlil dan shalawat. Kita pura-pura tak mendengar, saat mulut-mulut mungil mereka menyebut nama kita, yang dibaca pada nisan marmar abu-abu, sebagai mendiang kakek dan nenek. ***


Jakarta, Ramadan 1427 H
Kurnia Effendi

* Judul cerpen diambil dari judul lagu Leo Kristi, “Pojok Kafe Simpang Lima”, dari album “Nyanyian Cinta” tahun 1979.
** Petikan lirik lagu “Pojok Kafe Simpang Lima” ciptaan Leo Kristi.

(Cerpen ini dimuat Suara Merdeka Semarang, Minggu tanggal 22 Oktober 2006)
Source : Sepanjang Braga, 01 November 2006

Laut Lepas Kita Pergi

Mangapa Laut Lepas Kita Pergi?
Pertanyaan Rezza ini baru bisa saya jawab sekarang, tetapi pertanyaan seperti itu tentu tak kenal kadaluwarsa. Serupa dengan para anggota Komunitas Leo Kristi (LKers) yang lain, tak dapat langsung memutuskan satu lagu paling favorit dari seluruh gubahan mas Leo Kristi. Pasti ada beberapa, atau bahkan semua. Jika dikaitkan dengan momentum atau kenangan, saya yakin ada lebih dari satu pula yang membekas untuk sebuah peristiwa. Dengan demikian, tembang Laut Lepas Kita Pergi (LLKP) juga bukan satu-satunya yang saya gandrungi. Masih banyak judul lain yang tak kunjung hilang dari memori. Apalagi jika setiap waktu, dengan sengaja atau tak, selalu ada kenangan yang diperbarui.

Pertama yang saya rasakan dari lagu LLKP adalah suasana magis. Suara biola dalam aransemen musiknya terdengar menyayat. Kata "senja" dalam lirik bagai memiliki multi tafsir. Sebuah waktu menuju malam, batas antara terang dan gelap. Simbol dari akhir sebuah hari, yang merujuk pada usia. Lebih kuat kesan itu sewaktu Mas Leo menambahkan dengan: "Teguklah cangkir kopi terakhir". Akhiran "lah" merupakan perintah, permintaan, penawaran, ajakan. Ibarat imsak, ketika kita diminta menghabiskan minum, pertanda sesudahnya tak boleh minum lagi karena harus menahan nafsu sepanjang puasa. Kira-kira, dengan meminum secangkir kopi terakhir, kita akan di bawa ke mana? Sementara layar-layar telah menunggu di dermaga.

Sebuah perjalanan jauh! Itulah yang kemudian terbayang. Jauhnya perjalanan darat, lebih mudah diukur dengan kecepatan perputaran roda. Dengan menyebut layar, perjalanan akan dilakukan dengan kapal atau perahu. Berada di atas air, di atas laut, semua jadi tergantung pada banyak hal: tiupan angin, kekuatan baling-baling mesin, kepintaran jurumudi, perangai ombak, belum lagi arah yang mungkin keliru karena permukaan laut tidak mungkin dibuatkan marka. Demikianlah, ada sambung-menyambung imaji yang semuanya mengisyaratkan pada perpisahan, perjalanan jauh, dan kemungkinan tak bertemu lagi.

Astaga, mata saya panas membayangkan bait pertama saja. Perpaduan musik, intro yang menggambarkan angin sepoi, dan seruan yang memberi tahu bahwa kapal telah menunggu di dermaga: layar pasti tak dalam keadaan tergulung, tetapi siap melaju ke lautan. Dan kita diminta bergegas, menuntaskan kopi, untuk segera melangkah meninggalkan pesisir, naik ke palka...

Baiklah kita siap berangkat. Ke mana? Apa yang hendak terjadi? Seperti layaknya akhir dari perjalanan hidup, kita kembali diingatkan bahwa alam yang akan ditempuh sungguh berbeda. "Kemarin hanya mimpi ditenung tangan sakti, aku tak mengerti, gelapnya dunia ini, tinggal hari yang sepi....kuterjaga..."

Tangan sakti itu tentu Tuhan. Manusia dengan segala perangkat tubuhnya adalah "robot" yang memiliki "chip" ruh. Program diberikan sejak ditiupkan ruh di dalam kandungan. Lalu semua berjalan dengan kitab hidup masing-masing. Jadi, bila kita bertanya seperti apa swargaloka, tak mungkin dapat dibayangkan dengan program ingatan dan kekayaan diksi kata manusia. "Chip" di benak kita harus diganti, sehingga program dunia tak dapat lagi kita baca, yang muncul adalah bahasa alam yang lain. Maka perdebatan mengenai surga yang mengalir sungai susu di bawahnya adalah perumpamaan dunia karena tak ada yang sepadan lagi. Perdebatan itu tak penting buat Leo Kristi.
Tenung Tangan Sakti sanggup membuat yang kemarin, hidup sepanjang usia kita ini, hanyalah sebuah mimpi. Dunia kemudian gelap dan yang terlihat adalah alam berikutnya: perjalanan yang telah ditunggu oleh layar-layar di dermaga sebagai batas. Tentu saja kita tak akan pernah sungguh-sungguh mengerti, meskipun pada riwayat masing-masing tarikh manusia disiapkan kitab petunjuk hidup samawi. Semua berupa misteri, bagai kulit bawang yang terus-menerus dikupas tak juga sampai pada isinya.

"Kuterjaga... dari mimpi." Terjaga dari hidup menuju mati? Mati hanya bahasa kita di Bumi, sementara di alam lain justru kita dilahirkan kembali untuk "program" lanjutan. Mas Leo menghibur dengan kata-kata: "Apa lagi kautangisi?" Ya, sesal memang tak lagi berguna. Semua serba terlanjur. Jalan satu-satunya adalah pasrah kepada sang pemilik hidup, dan kita mengalir mengikuti arus kekuatan Tangan Sakti. Selamat tinggal, itu kata terbaik untuk semua yang berpisah dari kita: raga, jiwa, kecintaan, bahkan nama kita sendiri.

Lalu, tanggal 26 Desember 2004, Tangan Sakti itu menghapus ribuan nama dari daftar kehidupan di marcapada melalui hembusan tsunami di Bumi Aceh. Angin "sepoi" itu merenggut sekaligus dalam waktu yang demikian ringkas sekitar 180.000 jiwa. Ke mana mereka semua saudara-saudara kita berangkat? Ke Laut Lepas Duniawi Mereka Pergi... Dan kemarin, seluruh perjalanan "kehilangan malam" karena senantiasa berlaku jam-malam bagi masyarakat Aceh, ketakutan oleh DOM yang tak jelas siapa lawan siapa kawan, membuat: ...aku tak mengerti, gelapnya dunia ini, tinggal hari yang sepi....

Kematian boleh jadi adalah kesepian paling hakiki. Meskipun yang membawa mereka pergi adalah gemuruh ombak setinggi delapan meter dengan kecepatan tak tertandingi. Gemuruh adalah puncak sepi sebuah hati yang menyatu sebagaimana cahaya putih sebagai pusat spektrum segala warna.

Saya menghubungkan suasana magis dalam lagu Laut Lepas Kita Pergi dengan mahaduka Aceh atas ciuman maut tsunami dalam sebuah cerita pendek. Saya menghubungkannya saja. Menulis dengan hati yang terus gemetar, dengan sendu yang tak dibuat-buat, dengan melankolia yang mempertanyakan diri sendiri melalui tokoh bapak yang kehilangan daya. Kepada anaknya ia pamit karena tak tahu harus bagaimana lagi. Kepada anaknya ia (mungkin bilang): layar-layar telah menunggu di dermaga. Sementara sanak saudara mereka telah berangkat lebih dulu, berjamaah, setelah meneguk secangkir kopi kehidupan terakhir kali.

Teman-teman LKers, karena atas nama alasan apa pun kita harus selalu siap menghadapi hari esok, mari kita teguk cangkir kopi terakhir....
Salam, Angin sepoi.... (Kef)
Source : Sepanjang Braga, November 6 2007

Tanah Merdeka

Pagi itu di empat lima
Kami semua menyanyikan lagu bersatu negeri
Pagi itu di kaki lima
Kami semua menyanyikan lagu bebasnya negeri
Di tanah merdeka ini, hitam tetap hitam
Di tanah merdeka ini, putih tetap putih
Janganlah kau cemas, ayo menyanyi
Pagi ini di sudut jalanan
Seorang gelandangan menyanyikan lagu bagimu negeri

Kita masih bisa melihat seorang lelaki troubador lebih separuh baya, 58 tahun, dengan setelan hitam menyandang gitar ke mana ia melangkah. Namanya Leo Iman Soekarno, namun akrab dipanggi Leo Kristi. Seorang ibu yang mencintainya memberi nama gitarnya ”Keris Sakti” yang kemudian diringkas menjadi Kristi. Ia jejaki jalan setapak Nusantara, beribu kilometer, bertahun-tahun lamanya, namun baru menginjak ranah Aceh tahun 2006 dengan perasaan yang gemetar. Di sana ia menyanyi tujuh lagu untuk penggemarnya yang tak terpetakan lagi, termasuk di antaranya tembang menyayat: ”Laut Lepas Kita Pergi”.

Layar-layar di dermaga, telah tunggu, telah tunggu
Teguklah cangkir kopi terakhir, ucapkanlah selamat tinggal
Laut lepas kita pergi....

Ia, Leo Kristi, sangat mencintai laut. Mungkin karena pernah menyusuri pantai-pantai panjang Indonesia dengan rasa kasih tersendiri. Ia tak hanya menyapa sang nelayan namun lebur dalam kehidupan angin garam mereka. Ia menghayati makna yang tersurat maupun yang tersirat kehidupan keluarga para pelaut. Berangkat ke tengah samudera didorong angin darat. Terayun-ayun sepanjang malam dalam gelombang yang tak terduga. Pulang ke pantai saat fajar merekah memecah langit. Tapi suatu hari, nelayan muda tak pulang ke rumah.

Berbondong-bondong nelayan ke laut
Apakah yang terjadi aku tak tahu
Apakah yang terjadi hei, di situ
Kiranya nelayan muda kembali hanya perahu
Meninggalkan istri lama bersedih menunggu

”Lenggang-lenggung Badai Lautku”. Itu lagu pertama yang diperdengarkan bagi khalayak pada tahun 1975 melalui album Konser Rakyat Nyanyian Fajar. Selain senandung laut itu, ada ”Katia, Amanda, dan Aku”. Pada album berikutnya tercantum ”Nyanyian Pantai”, berikutnya lagi ”Gulagalugu Suara Nelayan”. Dan seterusnya, sampai yang simbolik: ”Layar Asmara”

Tetapi Leo Kristi juga mencintai tanah kelahirannya: Surabaya. Hampir seluruh kejadian sehari-hari muncul dari suasana kota yang ribut dan panas di pantai utara Jawa Timur. Leo bisa menggambarkannya melalui banyak hal untuk kota yang sudah menjadi darah dan keringatnya itu. Lewat perjalanan kereta api (”Di Deretan Rel-rel”, ”O, Danae”, ”Sudut Jalan Surabaya 1979”), melalui riuh kota (”O, Surabaya”, ”Rumput Raya Kemesraan”), melalui aliran sungai Kalimas (”Tepi Surabaya”), dan banyak lagi.

Menceritakan kesaksian Leo Kristi dalam rentang panjang usianya tak cukup semalam. Barangkali perlu bermalam-malam di bawah bintang salib. Ada yang harus dicermati secara mendalam ketika menunggu bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu. Ia tak pandai menyampaikan isyarat batinnya yang kaya secara spontan, apalagi di atas panggung. Tetapi lihatlah, bagaimana satu kakinya terpacak di atas separuh tong, mengentak seirama kibasan tangannya menyapu enam atau dua belas senar gitarnya. Mukanya tengadah dan suaranya membahana melantangkan semangat memuja pahlawan.

Ya, kisah kepahlawanan yang tak dikisahkan dalam lirik cengeng adalah satu hal yang tak terpisahkan dari jiwanya. Kita jarang bisa berterima kasih kepada para pendiri republik ini, para pejuang yang sungguh-sungguh menumpahkan darah untuk Bumi Pertiwi tanpa pamrih untuk mendapatkan kekayaannya. Tetapi, di panggung-panggung perayaan kemerdekaan, sang troubador terus menggemakan penghargaannya yang tulus kepada para pendahulu kita:
Dia saudaraku, dia saudaraku

Bernyanyi riang di ufuk fajar
Dalam tidur senja kini
Bersamanya bunga-bunga
Dengan tiga butir peluru di dada, di dada
Langit makin merah hitam...

Ayo, nyalakan api hatimu! Sambut dengan satu kata: Merdeka! Dan Leo Kristi selalu membuat kita membawa bara semangat, melangkah tegap dalam kepercayaan menyongsong hari depan, adalah sebuah mars yang menggetarkan:

Iringan bendera kemenangan
Berlalu gegap gempita
Menyongsong irama kakiku
Lelah kaki lima ibukota
Ada seribu matahari bersinar
Di antara silaunya aspal jalan
Kakiku terantuk batu-batu hitam tajam
Di seberang gembira lagu-lagu mars kemenangan
Aku teringat akan bapakku yang bersujud
Di dalam gelap gulita di sana
Dirgahayu, dirgahayu Indonesia Raya

Bukan berarti Leo Kristi hanya bisa berseru lantang. Ia juga menyurakan cinta yang mendayu. Cinta yang tulus terhadap ibu. ”Mutiara Pertiwi”. Cinta yang telah tiba sampai pada batas sakit. Sampai kaki-nini negeri ini. Oh, nenek. Oh, kakek. Ia, barangkali, tak peduli lagi dengan cara hidupnya. Sebuah arsitektur megah tentang cinta (kepada petani, pesinden, nelayan, guru tua, anak-anak jalanan) yang tidak lagi milik dirinya: ketika kesepian mulai menjemput. Melalui gersak-gersek daun-daun rontok. Di usia 58, ia terus melangkah. Kepercayaan pada esok dan lusa, aku suka. Dan entah di senja yang kesejuta, ia akan bisikkan di telinga kita, ”Kaki Langit Cintaku Berlabuh”

Lampu-lampu pelabuhan jelang dini
Berselimut kabut ...
Kapal-kapal mulai turun, mulai turun
Membongkar sauh
Laut kelam, kaki langit cintaku berlabuh

Di tanah merdeka ini, Indonesia, pada usia yang masih muda untuk sebuah negara, 62 tahun, siapa lagi yang akan sungguh-sungguh mengibarkan bendera? Siapa di antara kita yang masih berdaya menyanyikan Indonesia Raya? Bukankah kita telah banyak kehilangan? Kehilangan cinta pada budaya, kehilangan welas asih pada saudara, kehilangan harga diri bangsa. Tinggallah ku kini dalam sepi huk huk huk....
Namun Leo Kristi masih tetap ingin kita berdiri paling depan untuk merasakan tiap denyut nadi kebangsaan kita. Bangsa yang telah melampaui segala getir kehidupan dan kini masih harus ditindas oleh kemurkaan nafsu angkara. Tapi tak pernah dalam nyanyiannya, Leo Kristi menghujat. Ia semata hanya memotret. Hanya mengambil gambar sedih di tepi Kiara Condong lalu menyampaikannya pada seseorang yang hendak pergi ke kota esok pagi, mungkin melalui ketekunan roda pedati. Mari, dalam kemerdekaan yang tak semarak cahaya merkuri, kita tegak berdiri

Berjanjilah dalam janji
Di perjalanan semakin sukar ini
Berjanjilah dalam janji
Hati semakin tegar!
(Orasi Kurnia Effendi pada acara Senja Raya Indonesia Merdeka di MP Book Point, 18 Agustus 2007)
Sourec : Sepanjang Braga, August 20, 2007

Hari Pahlawan dari Dua Perspektif


(2) Pahlawan yang Dilupakan
Tepat tanggal 10 November 2007, hari Sabtu, ketika banyak sekolah memberikan libur kepada siswanya, tak lazim lagi diadakan upacara untuk mengenang jasa para pahlawan pendiri republik tercinta ini. Sebuah komunitas yang menamakan diri Komunitas Leo Kristi tidak ingin hari itu berjalan dengan dingin dan biasa-biasa saja. Sejak jauh hari, Setiyadi, sebagai motor penggerak anggota komunitas yang akrab disebut LKers, sudah merancang acara untuk mengenang para pahlawan dengan acara yang berbeda.
Mereka adalah para pecinta lagu-lagu Leo Kristi, seorang troubadour Indonesia sejati. Karena banyak lagu-lagu ciptaan penyanyi Konser Rakyat asal Surabaya (yang disebut juga sebagai Kota Pahlawan) banyak mengandung unsur patriotik dan heroisme, tak salah jika menggunakan momentum itu untuk menyanyikan lagu-lagu bertema kepahlawanan.
Bertempat di MP Book Point, sebuah toko buku kafe di kawasan Jakarta Selatan, acara digelar sejak pukul 16:30 WIB. Mengusung tajuk ”Pahlawan yang Dilupakan”, para LKers ingin reriungan sembari mengambil makna dari peringatan hari bersejarah itu.
Acara dibuka dengan sebuah lagu ”Bedil Sepuluh Dua, Jelang Empat Puluh Tahun Merdeka”, membuat hadirin yang merupakan penggemar Leo Kristi bagai histeris. Setelah sepucuk lagu berlalu, Happy Salma, artis dan fotomodel yang pernah berperan sebagai Nyai Ontososroh dalam naskah adaptasi novel tetralogi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, membaca sebuah cerpen karyanya sendiri. ”Impian yang Terenggut” judulnya, merupakan cerita bertema pahlawan. Suaranya yang sendu, bahkan ia sempat mengusap air mata di pengujung pembacaan, membuat seisi ruangan merasakan benar bahwa spirit kepahlawanan itu masih ada.
Diskusi mengenai ”Ruh Pahlawan dalam Lirik Leo Kristi” menjadi agenda selanjutnya, dengan pembicara Arya Gunawan (Unesco Indonesia) dan Kurnia Effendi. Leo Kristi tidak hanya unik dalam lagu namun syair yang ditulisnya memiliki kapasitas puitik yang tinggi. Arya menggali mulai dari unsur pantun sebagai akar tradisi puisi sampai pada pemberontakan makna kata yang muncul melalui yodel Leo dalam banyak lagu. Sementara Kurnia menyoroti dengan tujuh kemungkinan yang membuat Leo banyak menulis dan bahkan merasakan kepahlawanan dalam banyak peran.
Jeda maghrib rencana dipergunakan untuk pemutaran film Soerabaia 45, dengan Leo (Imam Sukarno) Kristi berperan sebagai Bung Tomo. Akhirnya diganti dengan pembacaan ”Tanah Merah In Memoriam” oleh Ramdan Malik yang meliputi petikan diary Sutan Syahrir, memoar Hatta, dan catatan Digul yang ditulis oleh Mas Marco. Mardiyah dari Koran Tempo menyampaikan kisah pengalamannya di Aceh pasca tsunami.
Maka sampailah pada acara yang ditunggu-tunggu, menyanyikan 30 lagu Leo Kristi. Alat musik yang disiapkan di panggung berlatar bendera merah-putih nyaris selengkap Konser Rakyat Leo Kristi. Ada gitar, bas, rebana, gong, saron, bahkan angklung. Sementara tak ketinggalan suling, triangle, harmonika, dan peluit. Dibuka dengan lagu ”Tembang Laras Hati” dengan vokalis tamu Devi dari Sanggar Matahari, lagu demi lagu mengalir tak henti-henti. ”Serenada Pagi 1971”, yang menjadi lagu favorit Bambang Aroengbinang menjadi komposisi paling sempurna. Sementara tak kalah indahnya: ”Biru Emas Bintang Tani”, ”Nyanyian Fajar”, ”Surabaya Bernyanyi”. Gitaris Rezza Suhendra seperti memiliki ratusan jemari yang memetik senar gitar secara tremolo. Gamawan Waloeya dari Bandung membuat musik menjadi anggun. Mengiringi para vokalis Tanti, Lilies, Ayu. Sesekali Aris menyeruak dengan harmonikanya. Sena dengan tabuhan rebananya. LKers dari Bangka, Abing Patrick dan Dewi Persada, menyanyi histeria dari tempat duduknya. Selain yang sedang bermain musik, audiens duduk akrab lesehan di atas karpet. Sebagian sembari menyeruput teh dari ruang kafe Saqi.
Pertunjukan yang menyerupai event pertemuan keluarga itu berakhir pukul 21.45, sedikit melewati batas waktu. Begitu rindunya mereka akan nyanyian, tampak dari semangat yang ditunjukkan oleh Henry Ismono, Budhi Kurniawan, dan Albert, sampai-sampai presentasi foto karya Henry Widjaja pun dipersingkat. Tapi semua tampak senang dan haru, seperti tak hendak berpisah. Kegembiraan mereka terutama karena LKers dari jauh, Noereska dan Mahatmanto dari Yogya, Santosa dari Sangatta Kalimantan Timur juga hadir.
Tapi tentu tak ada pesta yang tak usai. Hujan yang mengguyur Jakarta malam itu tak dirasakan benar oleh mereka. Upaya mengenang para pahlawan dengan cara bernyanyi dan berdiskusi telah tercapai. Masing-masing undur diri pamit dan malam kembali sepi dalam sisa gerimis.
Demikianlah, dengan masing-masing perpesktif, dua malam berturut-turut Hari Pahlawan diperingati tanpa harus angkat senjata dan berdarah-darah. Namun hikmah yang dipetik luar biasa dalam bagi sanubari anak-anak bangsa berjiwa besar.
Source : Sepanjang Braga, 20 November 2007

Salam Hormat, Cinta dan Kerinduan

(untuk mengingat reriungan LKers di MP Book Point, 10 November 2007)
Selamat sore keluarga kami tercinta, komunitas LeoKristi baik yang tinggal di Jakarta maupun di luar kota. Terima kasih atas kehadiran para sahabat. Kami menanti-nanti datangnya hari ini, seperti menanti saudara kandung yang pulang mudik dari tanah rantau. Jadi silakan berkangen-kangenan di sini tak harus sungkan dan tak enak hati.
Hari ini Hari Pahlawan, 10 November 2007. Hari yang kita tak perlu angkat senjata lagi. Tapi tentu punya cara lain untuk memperingatinya, mengenangnya, menziarahinya. Ya beginilah para LKers melakukannya melalui ”jalan gitar”.
Salam hormat untuk para pahlawan pendiri republik ini. Wangi keringat dan darah mereka masih tercium hingga hari ini. Dalam senja yang memadukan rasa pahit dan manis hidup sepanjang membangun bangsa, kami tak punya apa-apa lagi untuk menabur bunga di atas makam mereka. Kecuali dengan air mata yang menjelma nyanyian. Maka kami akan bersenandung sepenuh perasaan, dari kedalaman hati. Jauh dari kedalaman hati.
Melalui spirit teduh yang mungkin tak tergapai lagi oleh generasi kini, kami hendak melantunkan suara pahlawan dari lirik lagu Leo Kristi. Bagi Leo Kristi dan kami yang mencintai tembang-tembangnya, pahlawan telah menjelma banyak peran: guru, petani, nelayan, pelukis, penari, dan tentu saja ibu sang pecinta sejati.
Setelah serangkaian harmoni yang akan kami sajikan di bagian awal, sebelum diskusi tentang ruh pahlawan dalam lirik Leo Kristi, adik kita Happy Salma akan membacakan sebuah cerpen tentang pahlawan. Judulnya “Impian yang Terenggut”. Cerpen ini ditulis oleh Happy sendiri dan dimuat di majalah Kartini.
Jangan tanyakan kepada Happy nanti, siapa Leo Kristi. Jawabannya akan sama dengan jawaban atas pertanyaan kami kepada Meutya Hafid dan Fifi Aleyda, juga teman-teman satu generasi. Karena itu saya pernah berbisik-bisik dengan Mbak Yoosca, bahwa kita sedang memelihara sebuah ”artefax purba” yang hanya kita sanggup menikmatinya. Benarkah demikian? Saya kira ini hanya persoalan komunikasi yang harus segera dijembatani.
Mudah-mudahan kita yang bernaung dalam LKers tidak sedang mengkultusindividukan seorang seniman unik bernama Imam Sukarno. Bagi kami, Leo Kristi adalah inspirator yang mengikat kita semua menjadi sebuah keluarga. Leo Kristi tentu bukan ”nabi” yang membuat LKers membentuk aliran ”agama” baru. Oleh karena itu sangat boleh untuk ”murtad”. Misalnya saja, di ruangan ini nanti akan dinyanyikan lagu Iwan Fals, Ebiet G. Ade, Iwan Abdulrahman, Franky, atau John Denver dan Keenan Nasution.
Jadi, LKers memang berawal dari kegemaran para insan di dalamnya terhadap lagu-lagu dan lirik yang dibuat dan dinyanyikan Leo Kristi. Kegemaran yang mengurat-darah dan untuk itu boleh Mbak Tika Bisono melakukan penelitian, siapa tahu ini salah satu symptom kelainan jiwa. Air mata bisa menetes ketika teman lain sedang menyanyikan salah satu lagu Mas Leo yang menyentuh. Itu menunjukkan aku-lirik dalam syair Leo Kristi bekerja secara universal, pengalaman yang tak hanya jadi milik diri sendiri. Lalu apa hasil dari reriungan ini nanti? Kami tak menjanjikan apa-apa, jadi rasakan saja sendiri.
Sebelum kita memasuki pengalaman-pengalaman bersama, saya sampaikan salam titipan dari Arief Wicaksono yang sore ini tak dapat hadir karena berada di luar kota. Dia, meski tidak bernaung dalam milis LeoKristi, tetapi melakukan upaya lain, yakni membuat buku ”Simfoni Indonesia”. Buku itu menghimpun seluruh karya musisi dan penyanyi Indonesia yang menggemakan cinta tanah air melalui lagu-lagunya. Saya tidak tahu hasil akhirnya, hanya tahu ada proses yang berkepanjangan mengenai pemasangan 4 lagu Leo Kristi di dalamnya. Mudah-mudahan berakhir dengan happy.
Dan dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada MP Book Point yang untuk kedua kalinya memberikan ruang dan waktu untuk apresiasi kita, bukan hanya terhadap lagu-lagu Leo Kristi, tetapi untuk seni budaya secara umum. Terima kasih kepada Bapak Amir H. Daulay yang merintis milis Leo Kristi. Terima kasih kepada Mas Setiyadi yang didapuk oleh kawan-kawan sebagai Ketua Dewan Syuro Lkers, karena paling sering mendapat kesewotan dari Mas Leo, tapi cintanya tetap menyala tak padam-padam, tak kapok-kapok. Entah siapa yang beruntung, Mas Adi sebagai penggemar yang selalu bisa berdialog dengan idolanya, atau Mas Leo yang mendapatkan penggemar akut sehingga gema eksistensinya terpelihara. Terima kasih kepada para LKers yang dari luar kota, Mas Gamawan (Bandung), Bang Abing dan Dewi Persada (Bangka), Mas Noereska dan Mahatmanto (Jogja), Mas Santoso (Sangatta). Terima kasih kepada adik tersayang Happy Salma yang bersedia melebur dalam ”aliran” sempalan ini. Terima kasih kepada sahabat Arya Gunawan, penggemar yang pernah membawa Mas Leo menginjak tanah Aceh untuk pertama kalinya. Terima kasih kepada Tika Bisono, psikolog dan Puteri Indonesia tempo dulu, yang pasti akan banyak mendapatkan pasien di sini. Terima kasih kepada seluruh LKers baik yang pintar bermusik, bernyanyi, dan hanya tepuk tangan saja. Terima kasih untuk para LKers yang rumahnya pernah menjadi tempat latihan sampai para tetangga mengira ada konser dadakan. Terima kasih untuk teman-teman security yang menjaga kendaraan kita di luar sana.
Setelah diskusi yang santai nanti, ada sajian musik lagu-lagu Leo Kristi dengan para musisi yang akan dikenalkan saat tampil. Kami kedatangan vokalis tamu, Devi, dari Sanggar Matahari, yang ternyata adalah teman SMP Rezza Suhendra, gitaris andal LKers. Kami telah siapkan 30 lagu. Kami juga akan memutar film Soerabaia 45(Bung Tomo), Sutan Syahrir, dan kesaksian Tanah Merah in Memeoriam yang dibaca oleh Ramdan Malik, pembacaan puisi Romo Sindhu oleh Henry Ismono, cerita Aceh pasca tsunami oleh Mbak Mardiyah, dan entah siapa lagi. Dan yang tak kalah penting, pada sore ini juga dibuka pameran foto karya Mas Henry Widjaja.
Baik, selanjutnya saya mempersilakan ”Bedil Sepuluh Dua” untuk diletuskan.
(Kurnia Effendi)
Source: Sepanjang Braga, Monday 26 November 2007

Senja Raya Indonesia Merdeka

Dari Komunitas Leo Kristi:
Pertemuan anggota komunitas milis secara off-line sebenarnya sudah biasa. Namun bagi Komunitas Leo Kristi yang menamakan diri para LKers mengandung femomena tersendiri. Mereka bernaung dalam sebuah kelompok mailing list dalam Yahoo Groups yang dipertautkan oleh kegemaran mereka terhadap lagu-lagu Leo Kristi.
Tentu saja ada komunitas penggemar lagu-lagu Koes Plus, The Beatles, Iwan Fals, Slank yang menyebut diri Slankers, atau pecinta KLa sebagai Klanis. Adakah perbedaan di antara mereka? Sama-sama fans club, kelompok penggemar, tetapi yang menonjol pada para LKers ini justru rasa persaudaraan di antara mereka, di antara keluarga mereka.
Untuk yang kesekian kali mereka melakukan kopi darat (pertemuan). Kali ini, seraya memperingati HUT Republik Indonesia, para miliser Leo Kristi saling berjumpa dan membuat acara bertajuk “Senja Raya Indonesia Merdeka.” Awalnya hanya bermaksud nyanyi-nyanyi lagu Leo Kristi sembari ngobrol melepas kangen, tetapi lantaran kegiatan tersebut diumumkan di sebuah media nasional, mendadak ingin serius. Maksud serius di sini, acara itu kemudian sengaja diramu dengan materi yang cukup “berisi”. Mereka tak hanya mau nyanyi dan berbincang, namun juga menyampaikan kesaksian atas peristiwa yang terjadi di Indonesia terkait dengan tema kemerdekaan, membaca cerpen dan puisi, juga menggelar talkshow.
Anggota milis ini rata-rata angkatan 80-an. Tentu saja, karena lagu-lagu Leo Kristi berkumandang pertama kali tahun 1975, di saat para LKers ini masih remaja atau menjadi pelajar di pelbagai kota masa lalu. Keterpesonaan mereka terhadap (makna lirik yang puitis dari) lagu-lagu konser rakyat Leo Kristi yang banyak memotret Indonesia dari sudut-sudut paling rinci, membuat masing-masing memiliki sejarah. Para penggemar ‘akut’ ini tak terpetakan karena mereka berbeda dengan fans club yang menggandrungi band-band pop atau rock yang dapat dengan mudah ditemui di kota-kota besar. Kenyataannya, lantaran unik dan “eksklusif”nya tembang Leo Kristi yang tak mudah diterima oleh pendengar umumnya, hanya radio tertentu yang memperluas kepada khalayak. Dengan demikian, praktis jumlah pecinta nyanyian Leo Kristi yang bernama lengkap Leo Imam Soekarno ini sulit dilacak dan jumlahnya barangkali tidak banyak.
Diprakarsai oleh Amir H. Daulay, beberapa tahun yang lalu, dibuatlah milis dengan semacam coba-coba. Rupanya tak gampang juga menjaring peserta karena kebanyakan yang diundang justru bertanya: “Siapa itu Leo Kristi?” Ada yang benar-benar tak kenal, ada juga yang pura-pura tak tahu. Namun singkat cerita, milis ini kemudian menyala seperti api unggun yang dikipas secara telaten. Barangkali tak lebih dari 100 orang anggotanya yang aktif, tetapi ini cukup membanggakan.
Anggota LKer ini pada hari Sabtu, 18 Juli 2007 yang baru lalu, mulai jam 4 sore, melangsungkan acara di MP Book Point. Sekitar 30 orang anggota hadir, termasuk dari luar kota: Bandung, Wonosobo, Bangka-Belitung. Mereka seperti sebuah keluarga besar di luar rumah, melakukan silaturahmi dengan rasa kangen dan emosi tersendiri. Di antara mereka bahkan membawa anak dan istri, itu sebabnya komunitas ini sangat berbasis kekeluargaan. Sepertinya, selain memaknai karya yang sarat dengan napas kebangsaan dan cinta kehidupan rakyat, ada upaya untuk melestarikannya dengan “mewariskan” kepada generasi muda, anak-anak mereka.
Di antara para anggota milis, memang ada yang tergolong belia, dan mungkin “terlambat” menikmati keindahan tembang dan lirik Leo Kristi. Mereka adalah Budhi Kurniawan (penyiar radio Utan Kayu 68H) dan Aki Sudrajat yang seolah mengikuti jejak sang troubadour dengan kegemarannya mengembara dan menciptakan lagu-lagu.
Dibuka dengan pembacaan teks proklamasi oleh Setiyadi yang dianggap sebagai ketua komunitas, acara dilanjutkan dengan mengumandangkan sejumlah lagu Leo Kristi. “Nyanyian Tanah Merdeka”, “Jabat Tangan Erat-erat Saudaraku”, dan “Hitam-Putih”. Ketiganya bertema kemerekaan, sesuai dengan konteks pertemuan. Gamawan Waloeyo dan Dwiyatno menjadi gitaris andalan yang sangat piawai meniru gaya petikan Leo Kristi. Ending “Hitam-Putih” justru menjadi pembuka semacam orasi kebudayaan yang mengangkat tentang hubungan Leo Kristi dengan rasa cinta terhadap tanah air, kehidupan nelayan, perempuan baik sebagai ibu maupun kekasih; yang ditulis oleh Kurnia Eeffendi.
Demikianlah acara mengalir tanpa MC. Selang-seling antara bernyanyi, baca puisi dan cerpen oleh Yoosca Sakanti (membawakan cerpen “Pojok Kafe Simpanglima”), Henry Ismono (membawakan cerpen “Bendera” karya Maroeli Simbolon), Zhou Fuyuan (membacakan terjemahan puisi Tiongkok klasik) dibantu oleh Maria Bo Nio dari Wonosobo dan Dewi dari Bangka-Belitung, kesaksian oleh Abing Patrick dari Bangka Belitung, presentasi foto-foto perjalanan karya Henry Widjaja, dan pemutaran film dokumenter tentang para pendiri Republik koleksi Ramdan Malik. Rencana semula akan berakhir lepas maghrib akhirnya memanjang hingga 21.00. Bahkan, Setiyadi menciptakan acara dadakan: talkshow dengan gaya Tukul meskipun tidak saling cium pipi karena narasumbernya para lelaki, termasuk Amir H. Daulay sang pionir komunitas. Ya, jika dituruti, mereka tak hendak menghentikan nyanyian dan obrolan. Tak terasa lebih dari dua puluh lagu berkumandang di teras kafe Saqi, MP Book Point.
Dengan keakraban yang mengundang simpati kawan-kawan baru, Komunitas Leo Kristi berniat melakukan pertemuan serupa secara berkala tiap tiga bulan. Dengan tema yang bervariasi. Rencana paling dekat adalah Sabtu 10 Nopember 2007, di tempat yang sama. Pertemuan berikutnya itu akan diisi dengan diskusi tentang tema kepahlawanan yang banyak menghiasi album-album konser rakyat Leo Kristi. “Ruh Pahlawan dalam Lirik Leo Kristi”, demikian nama acara yang sementara dicuatkan. Sebenarnya mereka sudah kerap mengadakan perjumpaan, antara lain di CafĂ© Venecia, Taman Ismail Marzuki, juga pernah di pelataran rumput Kebon Binatang Ragunan. Tetapi kini merasa telah menemukan tempat yang fasilitasnya dapat memenuhi harapan untuk bernyanyi dan berbincang.
Leo Kristi sendiri, sang troubadour yang menjadi idola, tak pernah turut serta dalam pertemuan itu. Seolah menempatkan dirinya sebagai artis yang memiliki jarak dengan penggemarnya, Hal itu tak membuat surut semangat para LKer untuk terus menghidupkan milis, karena perbincangan mereka menyangkut topik yang sangat luas. Mereka, dengan ragam bidang pekerjaan dan profesi, justru selalu menemukan bahan pembicaraan yang tak habis-habis. Dan yang unik, semua itu hanya dipertautkan oleh kegemaran yang sama: lagu-lagu Leo Kristi!
“Dirgahayu Indonesia Raya” adalah lagu resmi yang menutup acara Komunitas Leo Kristi. Gema panjang semangat mereka terngiang hingga ke rumah masing-masing.
(Kurnia Effendi)
Source : Sepanjang Braga, Friday 24 August 2007

Wisata Sembari “Ngalap” Berkah


OlehYuyuk Sugarman
YOGYAKARTA – Alkid. Demikian anak-anak muda di Kota Yogyakarta menyebut nama alun-alun kidul (alun-alun yang terletak di sebelah selatan). Alkid terletak di kompleks Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Kawasan yang terletak di sebelah barat Tamansari ini setiap malam selalu ramai dikunjungi orang. Apalagi jika malam Minggu tiba, sejak pukul 19.00, alun-alun kidul ini sudah dipenuhi oleh anak-anak muda untuk ngeceng atau malah berasyik masyuk dengan sang pacar sembari lesehan dan menikmati hangatnya wedang ronde, roti, jagung bakar, dan pisang bakar.
Alkid memang punya daya tarik tersendiri. Di kawasan ini terdapat dua pohon beringin yang jarak antara satu beringin dengan lainnya sekitar 7 meter. Dua pohon beringin terletak berada di tengah persis. Karena pohon ringin dipagari, kemudian disebut sebagai ringin kurung. Ringin kurung adalah satu tanda kultural yang dikenal oleh publik. Alkid dulunya sebagai tempat latihan baris berbaris bagi prajurit keraton, sehari sebelum upacara grebeg. Tempat itu juga sebagai ajang sowan abdi dalem wedana prajurit berserta anak buahnya, di malam bulan Puasa tanggal 23, 25, 27 dan 29. Namun sejak Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) VIII bertahta, pisowanan ini dihentikan.Tak hanya itu, di zaman Sri Sultan HB VII, tiap Senin dan Kamis digelar lomba panahan dari jam 10.00-13.00.
Target bidik berada di utara ringin kurung. Pernah pula Alkid juga dipakai untuk adu harimau lawan kerbau. Seiring dengan perkembangan zaman, dan entah kapan mulainya, muncul sebuah kepercayaan, barang siapa bisa berjalan dengan mata tertutup dan berhasil melewati jalan di tengah di antara dua ringin kurung itu, akan mendapat berkah. Prosesi ini dinamai Masangin, yang berarti masuk antara pohon beringin.Meski jalannya sangat lebar, namun hanya segelintir orang yang berhasil melewati lorong selebar tujuh meter itu dengan mata ditutup. Selebihnya, nyasar tak karu-karuan. Leo Kristi, penyanyi asal Surabaya yang sering membawakan lagu-lagu Balada, juga pernah mencoba.
Dia gagal, meski dilakukan di siang hari.Bagi yang tak ingin berjalan cukup jauh, juga bisa melakukan Masangin dengan cara berjalan dari ringin kurung yang satu ke ringin kurung yang satunya lagi. Tentu dengan mata tertutup pula. Dalam prosesi yang satu ini, kedua tangan yang menjulur ke muka harus bisa masuk dalam lubang tembok yang menjadi pagar pohon beringin ini.
Namun tak jarang pula orang yang melakukan prosesi ini tak hanya memasukkan tangannya, tapi juga kepalanya. Konon, menurut yang percaya, hanya pengunjung yang berhati bersih yang bisa menembusnya. Untuk melakukan prosesi Masangin ini, para pengunjung bisa menyewa sebuah tutup mata seharga Rp 2.000. “Jika berhasil, maka orang itu akan tercapai apa yang diminta,” ujar Andri, salah satu guide yang nongkrong di Alkid. Andri juga mengingatkan, dalam melakukan itu tidak boleh dibimbing oleh siapapun. Artinya, setelah orang itu ditutup matanya dengan seikat kain, maka orang itu harus dibiarkan berjalan sendiri. “Ya kalau didampingi dan pendampingnya memberikan petunjuk, ya sama saja bohong,” tuturnya. Tempat NongkrongBanyak orang yang mencoba melakukan Masangin ini.
Tak kurang dari 50 orang setiap malamnya mencoba ber-Masangin. Tak hanya sebatas warga Yogya, tapi juga wisatawan domestik yang kebetulan datang ke Yogyakarta. Sujono, warga Lampung, misalnya. Ayah dari tiga anak ini tengah mengunjungi anaknya yang kuliah di Yogyakarta, dan merasa penasaran untuk mencoba ber-Masangin. “Saya memang nggak percaya tentang tahayul itu. Tapi saya ingin mencoba, masak jalan selebar itu orang tak bisa melewatinya,” ungkap Sujono.
Pada Kamis (4/8) malam lalu, Sujono mencoba Masangin. Ia mencoba dua kali. Yang pertama, ia hanya sampai di pertengahan. Yang kedua, dia berhasil melewati dua buah ringin kurung itu, meski dibimbing pendamping. “Saya berhasil. Saya melakukan ini lebih karena untuk refreshing bersama keluarga saja,” tuturnya sembari tertawa. Rekreasi, refresing. Itulah alasan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang melakukan Masangin. Sebagaimana yang dilakukan Sujono, hal ini juga dilakukan oleh keluarga Sonia. “Hitung-htung refreshing setelah penat bekerja. Ya syukur-syukur bisa ngalap berkah, apalagi ini malam Jumat,” tutur Ibu Sonia yang didampingi oleh suami serta kedua anaknya itu. Alkid memang menjadi fenomena tersendiri di pusat Kota Yogyakarta. S
etiap malam, kawasan ini sangat ramai dikunjungi orang. Karenanya, jika Anda datang ke Yogyakarta dan kebetulan tertarik untuk mencoba Masangin tak ada salahnya berkunjung ke Alkid. Siapa tahu Anda bisa ngalap berkah atau hanya sekadar nongkrong, nyari pacar sembari menikmati makanan dan minuman yang dijual di sekeliling Alkid. Hanya saja, siapkan banyak uang receh, mengingat banyaknya pengamen yang datang-pergi. “Saya sampai kasihan pada pengunjung, karena selalu merogoh kantong untuk memberi pengamen,” ungkap ibu penjual minuman ronde dan pisang bakar. (*)

Copyright © Sinar Harapan 2003

Dekatkan Puisi dengan Publik lebih Luas

Belakangan muncul garapan seni yang dinamakan musikalisasi puisi. Sebagai sebuah karya sastra, ternyata puisi lebih indah dan lebih melodis manakala dikemas dalam musik. Dan, lebih mendekati pementasan drama atau teater. Bahkan, sajian ini dapat dinikmati oleh publik yang lebih luas. Untuk lebih menggairahkan perkembangan musikalisasi puisi di Bali, baru-baru ini Bali Post kembali menggelar lomba tersebut. Lomba serangkaian HUT ke-55 Bali Post itu diikuti 24 peserta. Jumlah peserta yang tergolong cukup lumayan banyak. Apa sesungguhnya musikalisasi puisi itu? Kapan musikalisasi puisi berkembang di Bali?
Musikalisasi puisi berkembang di Bali sekitar tahun 1990. Mulai marak sekitar tahun 2000 saat Bali Post mengadakan lomba musikalisasi puisi bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Propinsi Bali. ''Pada awal perkembangannya, belum ada peserta yang begitu menonjol. Bahkan pada lomba tahun 2000 lalu, tercatat hanya dua yang berkualitas,'' kata penyair Tan Lioe Ie.
Penyair yang juga salah seorang tim juri lomba musikalisasi puisi itu mengatakan, sampai saat ini masih ada yang merancukan musikalisasi puisi dengan seni yang sejenisnya. Musikalisasi puisi dianggap membaca puisi yang diiringi musik. Padahal, musikalisasi puisi berangkat dari puisi kemudian dinyanyikan. Banyak yang terjebak atau asyik dalam musik, sehingga nuansa puisinya terabaikan.
Ia berharap kegiatan ini perlu dilanjutkan. Ini penting, karena lewat ajang seperti itu para penyair dapat lebih mendekatkan karya puisi pada publik yang lebih luas. Dengan demikian puisi akan keluar dari publik tradisionalnya menuju publik yang lebih luas.
Dosen Kerawitan ISI Denpasar Komang Darmayuda, S.Sn. sependapat dengan Tan Lioe Ie. Dalam lomba musikalisasi puisi, banyak peserta terjebak dalam lagu. Puisi yang dipilih hanya dibuatkan melodi, sehingga mucul lagu. ''Banyak peserta terjebak pada puisi yang dilagukan sehingga yang muncul justru lagu. Dalam musikalisasi puisi nuansa puisinya masih tetap kental dan kentara,'' ujar Darmayuda.
Dikatakan, dalam musikalisasi, paling tidak 50 persen unsur puisinya masih tampak. Tidak saja lagunya yang menonjol, tetapi juga spirit dari syairnya juga harus hidup. Sehingga spirit puisi tidak tenggelam oleh irama lagu dam musik yang dibawakan.
Suatu contoh, kata Komang, Ismail Marzuki pernah membuat lagu yang diambil dari puisinya Armin Pane atau Chairil Anwar. Demikian juga Franky membuat lagu yang diambil dari puisi ''Perahu Retak''. Yang lahir kemudian, memang lagu atau garapan musik pop.
Yang terkesan betul-betul musikalisasi puisi, katanya, adalah karya Leo Kristi yang mengambil beberapa puisi. Dalam karyanya itu Leo memang betul-betul menghidupkan suasana puisi.
Ciri khas musikalisasi puisi, katanya, terletak pada suasana teaterikalnya -- penampilannya seperti teater. Dalam pengungkapan lagu, suasana teaterikal itu mesti tetap ada. Jadi tidak menyanyi polos. Musikalisasi pusisi ini tergolong baru di Bali, sehingga tiap orang memiliki penafsiran yang bermacam-macam.
Dikatakan, banyak peserta yang terjebak pada penginterpretasian yang dangkal terhadap apa sesungguhnya ada di balik puisi tersebut. Agar menjadi garapan yang pas, sesungguhnya penggarap musikalisasi puisi bisa bertanya kepada sang penyair. Artinya, ada semacam dialog antara penyair, peserta lomba musikalisasi puisi, dan audiens (masyarakat) itu sendiri.
''Jika sudah paham akan makna puisi itu sendiri, tentu dengan mudah bisa menghidupkan puisi. Tugas kita sebagai orang pertunjukan menghidupkan suasana karya seni, Sehingga pementasan itu memang perlu dan enak ditonton,'' ujarnya.
Komang mengatakan, dengan dikemas dalam musikalisasi, puisi akan lebih bergairah. Terbukti, peserta lomba kali ini jumlahnya cukup lumayan banyak. Ini suatu fenomena yang sangat baik, walaupun orang masih meraba-raba bentuk tradisi baru ini. ''Mudah-mudahan ke depan, bentuk yang pas dari musikalisasi puisi bisa ditemukan,'' ujarnya.
Sementara itu, penyair Warih Wisatsana mengatakan, musikalisasi puisi itu bisa dikatakan terminologi yang belum selesai. Artinya, masih banyak muncul penafsiran. Tetapi, menurut Warih, hal itu tidak terlalu penting. Yang penting, lewat musikalisasi puisi terbuka pergaulan kreatif yang lebih luas.
''Bahasa musik lebih cepat akrab dengan publik yang lebih luas. Sementara puisi kesannya lebih serius. Cenderung untuk kalangan tertentu yang memiliki kefanatikan tersendiri. Seolah-olah puisi itu amat susah dipahami,'' ujar Warih Wisatsana.
Warih setuju dengan Darmayuda, bahwa perlu ada semacam dialog kreatif antara penggarap musikalisasi dengan pencipta puisi. Nampaknya dialog ini kurang terjadi. Dengan adanya dialog antara penyair dan pembawa puisi dalam musikalisasi itu, setidak-tidaknya ada upaya pemahaman bagaimana puisi itu diciptakan.
Melalui pendekatan interteks dan dialog kreatif diharapkan akan membuka peluang puisi yang dimusikalisasi dan tidak kehilangan esensinya. Ketika dihadirkan menjadi suatu pertunjukan panggung dengan musik dan lagu, nuansa atau warna-warna dasar puisi yang diciptakan penyair tetap muncul.
Dikatakan, terkadang muncul kejutan ketika sebuah puisi dilagukan dan diberi sentuhan musik. Ada semacam nada yang sugestif dan melodi yang sublim -- mengantar orang pada asosiasi yang luas dan imajinasi yang lebih kaya. ''Sebagai seorang penyair, tentu saya bisa bercermin kepada puisi yang saya ciptakan. Sebab begitu sudah dilemparkan ke ruang publik, puisi saya itu sudah milik bersama. Dalam pada itu terbuka ruang demokrasi di mana tafsir yang subjektif dan sehat menjadi suatu yang sewajarnya. Jadi itu menurut saya tidak usah diperdebatkan secara ketat soal terminologi musikalisasi,'' ujarnya.
Merupakan langkah strategis, ketika tradisi baru ini muncul dan berkembang di Bali. Dengan demikian akan muncul ruang apresiasi yang lebih luas terhadap karya sastra yang bernama puisi.
Musikalisasi puisi di Bali, katanya, sudah berkembang menarik. Dari lomba yang diselenggarakan Bali Post, Balai Bahasa Denpasar, menunjukkan bahwa peminat musikalisasi puisi terbuka luas.
Peminatnya, tak hanya di kalangan pelajar, juga masyarakat umum. Dibandingkan daerah lain, kehidupan sastra di Bali sudah lumayan menonjol. Ini tidak lepas dari peran semua pihak, terutama para penyair. Demikian juga ruang apresiasi Bali Post Minggu, memiliki peran besar dalam menghidupkan sastra di daerah ini. * subrata

Tujuh Pelukis Bali Pamerkan Power of Mind di Surabaya

Tujuh pelukis asal Pulau Dewata, Bali akan mengadakan pameran bersama karya-karyanya di Orasis Art Gallery selama sebulan (25 Januari-25 Februari 2005) dalam bingkai Pameran Lukisan Power of Mind . Acara ini merupakan pameran seni rupa khusus membuka awal tahun ini. Ketujuh pelukis Bali ini adalah Nyoman Erawan, Kun Adnyana, Putu Sutawijaya, Made Supena, Ida Bagus Indra, Tatang Bsp dan W Dul Sunadi.Panitia acara pameran seni rupa, Putu didampingi penggiat budaya Bali, Hartanto saat ditemui di Orasis Art Gallery, Jl HR Muhammad Surabaya, Selasa (25/1) mengatakan, tujuh pelukis tersebut mencoba merefleksikan realita kekinian itu dengan karyanya. Sekilas, karya seni hanya medium ekspresi. Namun, kalau hendak dikaji lebih dalam, ekspresi itu sendiri adalah hasil perenungan mendalam sepanjang perjalanan hidup seniman yang menyublim suatu daya. Itulah mind (pikiran).
Dalam konteks ini, lanjut Putu, mind bukanlah sekedar pikiran, melainkan akal sehat yang berkait dengan nurani. Dalam realita kekinian, persoalan pikiran menjadi hal yang paling inti untuk terus digali dalam kehidupan. Tetapi, persoalannya akal sehat dan hati nurani sepertinya sedang ditinggalkan oleh pemiliknya. “Tak pelak lagi, berbagai konflik, perpecahan, kekejaman dan kekerasan lantas merebak di mana-mana,” tuturnya.Ditegaskan kembali, Power of Mind dalam tema pameran ini, bukanlah sebuah gerakan politik untuk menyikapi realita kekinian. Ia adalah suatu gerakan senirupa, apresiasi dan gubahan kesadaran pada mind yang ada dalam diri tiap individu, yang (barangkali) telah pergi dari sudut hati dan mengembara entah ke mana.
Pembukaan pameran ini pada Selasa (25/1) pukul 19.00 malam, yang rencananya akan menampilkan penyanyi atau seniman asal Surabaya, Leo Kristi dan sekaligus untuk menandai pembukaan awal (soft opening) Orasis Art Gallery. Galeri ini sebenarnya bukan galeri yang baru berdiri kemarin sore, melainkan merupakan metamorfosis dari Pelangi Nusantara The Art Gallery yang berdiri pada 20 September 2002. “Galeri Orasis ingin menanjamkan visi, pilihan artistic dan atmosfer ruang yang menunjang dalam menikmati sebuah karya. Karena sejatinya Orasis (dalam bahasa Yunani) memiliki makna kemampuan untuk melihat lebih mendalam, lebih dari sekadar penampilan (the act of seeing, the sense of sight, a vision, a appearance, visible form),” tukas Owner (pemilik) Orasis Art Gallery, Elizabeth.Terdapat 30 karya lukisan yang akan dipamerkan dengan harga antara Rp 1,9 sampai Rp 22 juta.
Semisal lukisan karya perupa Kun Adnyana yang berjudul ‘La Comparsita’ dengan ukuran 138x160 cm menggambarkan perjuangan dan penderitaan seorang pekerja kelas bawah dengan menarik gerobak berisikan seekor anjing dan diikuti anak kecil, dibayangi oleh rentetan gedung-gedung pencakar langit yang bertengger di sekelilingnya. “Lukisan ini sengaja menggambarkan betapa besarnya penderitaan pekerja, dengan melukiskan laki-laki lebih besar dari pada gedung-gedung tinggi,” imbuh Putu menjelaskan kepada para wartawan yang terkesima lukisan dengan sapuan cat minyaknya. *(tok)
Source : d-kominfo-jatim,Selasa, 25 Januari 2005 13:40:53

Leo Kristi- Penata Musik di Film Letnan Harahap

Letnan Harahap

Judul
Letnan Harahap

Sutradara
Sophan Sophian

Produser
Molyono Sugandi

Pemeran Utama
Sophan Sophian; Kaharuddin Syah

Pemeran Pembantu
Lenny Marlina; Darussalam; Doddy Sukma; Ade Irawan; Parto Tegal; Brigitta Maria; Syamsuri Kaempuan; Usman Effendy; Mustafa; Etty Sumiati; Abdi Wiyono; Dewi Indrawati; Dhanan Djaya; Bagus Aryatama

Keterangan Publikasi
Jakarta: Sumaco Film, 1977

Deskripsi Fisik
Film berwarna; durasi 106 menit

Media
Film layar lebar

Sinopsis
Letnan Harahap (Kaharuddin Syah) adalah sosok ideal seorang polisi yang sederhana, tekun dan jujur, bersemboyan lebih baik mati dalam tugas daripada di tempat tidur. Ketika Letnan Harahap menangkap beberapa morfinis, salah seorang orangtua mereka menyertakan sebuah amplop saat mengucapkan terima kasih, namun ditolaknya. Begitu pula saat menangkap anak-anak penggede yang mengebut di jalan raya, Harahap tetap berteguh untuk tidak membebaskan tahanannya, meski ditawari sebuah mobil kecil untuk keluarganya. Film ini juga menampilkan perbedaan yang menonjol antara kehidupan istri penggede tidak sempat memperhatikan anak karena sibuk rapat dan serakah harta, dengan kehidupan keluarga miskin yang ribut antara keluarga karena tergusur rumahnya dan harus bertransmigrasi. Keributan semakin bertambah saat Harahap datang dan mengabarkan bahwa anaknya ditangkap karena mencuri nasi bungkus. Sang istripun menyambut dengan kemarahan dan mengatakan “Jika orang gede melakukan korupsi tidak ditangkap, tapi anak kecil yang mencuri nasi bungkus ditangkap”. Semobyan Harahap sebagai polisi terbukti saat menumpas gembong pengedar narkotik, yang saat itu ia harus istirahat karena mengidap kanker. Dalam film ketiganya ini Sophan Sophian, selain sebagai sutradara, memerankan seorang preman dengan menggunakan kaos oblong bergambar Ali Sadikin. Sebagai sutradara semakin mantap dalam karakter, kritik sosial dan nasionalis.

Subjek
Drama keluarga

Bahasa
Indonesia

Penulis Skenario
Deddy Arman

Penulis Cerita
Deddy Arman

Penata Artistik
Ramidi Rogodjampi

Penata Suara
Sambas, E

Penata Foto
Ismaun

Penyunting
Mulyadi

Catatan
Cerita diilhami dari sebuah artikel dalam majalah “Intisari”.

Sumber Katalog
Katalog Film Indonesia 1926 - 1995 / JB Kristanto.-- Jakarta: Grafiasari Mukti, 1995
Source : Pusat Dokumentasi Film Nasional

Jejak Perjuangan di Hotel Majapahit


Liputan6.com, Surabaya: Hotel Oranje atau kini dikenal dengan Hotel Majapahit Surabaya adalah salah satu saksi sejarah. Di tempat itu, peristiwa heroik perobekan bendera Belanda terjadi. Setelah 62 tahun berlalu, keberadaan hotel ini terus mempertahankan sebagai salah satu cagar budaya Surabaya.
Sejak berdiri sekitar satu abad lalu, hotel yang terletak di jantung Kota Surabaya ini memang tak banyak berubah. Tiang bendera yang menjadi titik peristiwa heroik perobekan bendera Belanda masih terpancang di atap hotel yang sempat bernama Hotel Yamato itu. Kamar 33 yang menjadi markas Sekutu pada masa itu juga masih dipertahankan.

Peninggalan sejarah memang menjadi salah satu ciri Hotel Majapahit. Foto-foto Surabaya masa lampau juga menambah daya tarik hotel. Namun apresiasi wisatawan nyatanya tak muncul dari pemerintah daerah. Itikad pengelola hotel untuk terus mempertahankan keaslian bangunan sebagai cagar budaya belum mendapat dukungan.

Dengan melihat Hotel Majapahit, masyarakat masih bisa mengenang atau belajar mengenai perjuangan para pahlawan. Namun jika cagar budaya ini tak dijaga, bukan tak mungkin cerita keberanian Arek-arek Surabaya hanya tinggal kenangan.

Perobekan bendera Belanda oleh rakyat Indonesia di Hotel Oranje atau Hotel Yamato pernah diangkat dalam film. Gegap gempita perjuangan rakyat Surabaya di tahun 1945 dalam mempertahankan kemerdekaan tergambar jelas dalam Soerabaia `45 garapan Imam Tantowi. Film yang dibuat 1990 ini sekaligus mengantarkan Imam menyabet penghargaan sutradara terbaik pada Festival Film Indonesia pada 1991.
Soerabaia `45 menceritakan kemarahan rakyat Surabaya yang meledak begitu mengetahui bahwa pasukan Sekutu membawa misi mengembalikan Indonesia kepada Belanda. Perlawanan bersenjata pun dikobarkan hingga terbunuhnya pimpinan tentara Inggris di Jawa Timur yaitu Brigadir Jenderal Mallaby.

Film Soerabaia `45 juga menampilkan sosok Sutomo atau lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo yang diperankan Leo Kristi. Bung Tomo membangkitkan semangat rakyat untuk mengusri penjajah Belanda yang hendak menginjakkan kakinya kembali di Bumi Pertiwi.
Dan semangat rakyat memang tidak padam. Pada tanggal 10 November, meski pasukan Inggris mengerahkan 30 ribu serdadu dilengkapi persenjataan modern, rakyat Surabaya tak mudah ditaklukkan. Peristiwa berdarah di Surabaya telah menggerakan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.(TOZ/Tim Liputan 6 SCTV

Source : Liputan6

Lagu Baru untuk Nyanyian Anak Bangsa

Jakarta, Disctarra.Com.
SEPENINGGAL almarhum anaknya, Galang Rambu Anarki, Iwan Fals, kini nampaknya tak segarang dulu lagi. Lirik lagunya yang diciptakan, meski masih menyuarakan rintihan orang tertindas, namun sekarang dibuat secara lebih lembut. Sosok macho Iwan yang pernah melantunkan lagu Bongkar dan Bento, tak kelihatan lagi. Seperti halnya di acara Konser Anak Bangsa, yang digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Rabu (12/4).

Lelaki yang dulu pernah menjalani kehidupan sebagai pengamen di bis kota tersebut, kini kelihatan lebih kalem sikapnya. Baik dalam kehidupan keseharian maupun dalam menciptakan lirik-lirik untuk lagunya. Dengan rambut yang dicukur pendek, Iwan tampil menyanyikan satu lagu yang khusus diciptakan untuk konser dari kaum seniman untuk kaum politikus ini.

Iwan yang terakhir merilis album Best of the Best, melantunkan satu lagu, ciptaannya terbaru, berjudul Untukmu Indonesia, di akhir pertunjukan. Suara lelaki bernama lengkap Virgiawan Listanto ini ternyata masih diidolakan penonton malam itu dengan teriakan, "Oi…oi, " atau "Hidup Iwan…".
Lagu itu, meskipun tak segarang lagu-lagu yang pernah dinyanyikannya, namun masih tetap menyimpan greget di dalamnya. Bercerita tentang kecintaan Iwan terhadap negerinya, Indonesia, yang sementara ini tengah diobok-obok sejumlah oknum penindas rakyatnya sendiri.
Yang tak kalah menarik pada konser malam itu adalah kehadiran musikus Leo Kristi, yang melantunkan beberapa lagu di luar judul skedul panitia. Tidak sama seperti dulu, kali ini, ia tidak tampil di atas panggung bersama anaknya, Panji. Salah satu yang dilantunkan penyanyi Surabaya ini adalah lagu House of the Rising Sun, yang pernah dibawakan oleh The Animals.

Konser Nyanyian Anak Bangsa dimeriahkan pula sederetan artis yang peduli terhadap nasib bangsa yang tengah terpuruk ini. Mereka antara lain; Doel Sumbang, Franky Sahilatua, Sujiwo Tedjo, Connie Dio, Dima, Puput Novel, dan Aning Katamsi. Juga Jose Rizal Manua dan Taufik Ismail, dua penyair yang terlibat kegiatan yang entah digubris atau malah sama sekali tidak dodengar gaungnya oleh kaum politikus Indonesia?! (03)
Source :Dics Tarra.

Konser Semangat Bersatu

oleh : Herry Suhendra
Lampu warna-warni yang terlihat di atas panggung memberikan nuansa keindahan tersendiri. Belum lagi lampu sorot yang sesekali menyinari artis yang tampil dengan iringan musik. Semarak dan meriah, begitulah kesan yang muncul dalam Konser Kebangsaan Perbanas di Balai Sarbini pekan lalu. Dari temanya saja, Konser Kebangsaan, secara langsung menggambarkan suatu acara bernilai semangat berbudaya dan semangat bersatu sebagai bangsa yang mampu survive menghadapi berbagai tantangan. Konser Kebangsaan yang diselenggarakan Perbanas (perhimpunan Bank-Bank Nasional Indonesia) disutradarai butet Kartaredjasa dengan artis pendukung Leo Kristi, Sherina, Syaharani, Edo Kondologit, Aamuel-AFI Yunior, Paduan Suara STIE Perbanas dan Djaduk Ferianto.
Berbagai musibah yang terjadi di tanah air dan beban ekonomi yang semakin berat yang dirasakan sebagian masyarakat Indonesia memang tak luput dari perhatian Perbanas, dimana saat ini telah terbentuk Komite Masyarakat Perbankan Peduli (KMPP). Dalam melaksanakan tugasnya, KMPP sebagai kepanjangan tangan Perbanas yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan, telah memberikan bantuan dalam bentukpendirian tiga sekolah dasar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) (SDN Giwangan dan SDN Kabregan) dan di Jawa Tengah (SDN Kotesan-Klaten) serta 100 unit rumah sederhana di daerah Bantul."Ke depannya, kegiatan KMPP akan diperluas ke daerah yang membutuhkan bantuan, khususnya di bidang pendidikan.
Oleh karena itu dalam memupuk rasa kebangsaan kita semua dan juga melalkukan penggalangan dana, Perbanas menyelenggarakan Konser Kebangsaan sekaligus memperingati HUT Kemerdekaan RI," kata Ketua Umum Perbanas yang juga dirut BNI, Sigit Pramono dalam sambutannya. Dalam acar Konser Kebangsaan ini hadir dari berbagai kalangan perbankan. (dj)
Source : Bisnis.Com,Rabu, 29/08/2007