(untuk mengingat reriungan LKers di MP Book Point, 10 November 2007)
Selamat sore keluarga kami tercinta, komunitas LeoKristi baik yang tinggal di Jakarta maupun di luar kota. Terima kasih atas kehadiran para sahabat. Kami menanti-nanti datangnya hari ini, seperti menanti saudara kandung yang pulang mudik dari tanah rantau. Jadi silakan berkangen-kangenan di sini tak harus sungkan dan tak enak hati.
Hari ini Hari Pahlawan, 10 November 2007. Hari yang kita tak perlu angkat senjata lagi. Tapi tentu punya cara lain untuk memperingatinya, mengenangnya, menziarahinya. Ya beginilah para LKers melakukannya melalui ”jalan gitar”.
Salam hormat untuk para pahlawan pendiri republik ini. Wangi keringat dan darah mereka masih tercium hingga hari ini. Dalam senja yang memadukan rasa pahit dan manis hidup sepanjang membangun bangsa, kami tak punya apa-apa lagi untuk menabur bunga di atas makam mereka. Kecuali dengan air mata yang menjelma nyanyian. Maka kami akan bersenandung sepenuh perasaan, dari kedalaman hati. Jauh dari kedalaman hati.
Melalui spirit teduh yang mungkin tak tergapai lagi oleh generasi kini, kami hendak melantunkan suara pahlawan dari lirik lagu Leo Kristi. Bagi Leo Kristi dan kami yang mencintai tembang-tembangnya, pahlawan telah menjelma banyak peran: guru, petani, nelayan, pelukis, penari, dan tentu saja ibu sang pecinta sejati.
Setelah serangkaian harmoni yang akan kami sajikan di bagian awal, sebelum diskusi tentang ruh pahlawan dalam lirik Leo Kristi, adik kita Happy Salma akan membacakan sebuah cerpen tentang pahlawan. Judulnya “Impian yang Terenggut”. Cerpen ini ditulis oleh Happy sendiri dan dimuat di majalah Kartini.
Jangan tanyakan kepada Happy nanti, siapa Leo Kristi. Jawabannya akan sama dengan jawaban atas pertanyaan kami kepada Meutya Hafid dan Fifi Aleyda, juga teman-teman satu generasi. Karena itu saya pernah berbisik-bisik dengan Mbak Yoosca, bahwa kita sedang memelihara sebuah ”artefax purba” yang hanya kita sanggup menikmatinya. Benarkah demikian? Saya kira ini hanya persoalan komunikasi yang harus segera dijembatani.
Mudah-mudahan kita yang bernaung dalam LKers tidak sedang mengkultusindividukan seorang seniman unik bernama Imam Sukarno. Bagi kami, Leo Kristi adalah inspirator yang mengikat kita semua menjadi sebuah keluarga. Leo Kristi tentu bukan ”nabi” yang membuat LKers membentuk aliran ”agama” baru. Oleh karena itu sangat boleh untuk ”murtad”. Misalnya saja, di ruangan ini nanti akan dinyanyikan lagu Iwan Fals, Ebiet G. Ade, Iwan Abdulrahman, Franky, atau John Denver dan Keenan Nasution.
Jadi, LKers memang berawal dari kegemaran para insan di dalamnya terhadap lagu-lagu dan lirik yang dibuat dan dinyanyikan Leo Kristi. Kegemaran yang mengurat-darah dan untuk itu boleh Mbak Tika Bisono melakukan penelitian, siapa tahu ini salah satu symptom kelainan jiwa. Air mata bisa menetes ketika teman lain sedang menyanyikan salah satu lagu Mas Leo yang menyentuh. Itu menunjukkan aku-lirik dalam syair Leo Kristi bekerja secara universal, pengalaman yang tak hanya jadi milik diri sendiri. Lalu apa hasil dari reriungan ini nanti? Kami tak menjanjikan apa-apa, jadi rasakan saja sendiri.
Sebelum kita memasuki pengalaman-pengalaman bersama, saya sampaikan salam titipan dari Arief Wicaksono yang sore ini tak dapat hadir karena berada di luar kota. Dia, meski tidak bernaung dalam milis LeoKristi, tetapi melakukan upaya lain, yakni membuat buku ”Simfoni Indonesia”. Buku itu menghimpun seluruh karya musisi dan penyanyi Indonesia yang menggemakan cinta tanah air melalui lagu-lagunya. Saya tidak tahu hasil akhirnya, hanya tahu ada proses yang berkepanjangan mengenai pemasangan 4 lagu Leo Kristi di dalamnya. Mudah-mudahan berakhir dengan happy.
Dan dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada MP Book Point yang untuk kedua kalinya memberikan ruang dan waktu untuk apresiasi kita, bukan hanya terhadap lagu-lagu Leo Kristi, tetapi untuk seni budaya secara umum. Terima kasih kepada Bapak Amir H. Daulay yang merintis milis Leo Kristi. Terima kasih kepada Mas Setiyadi yang didapuk oleh kawan-kawan sebagai Ketua Dewan Syuro Lkers, karena paling sering mendapat kesewotan dari Mas Leo, tapi cintanya tetap menyala tak padam-padam, tak kapok-kapok. Entah siapa yang beruntung, Mas Adi sebagai penggemar yang selalu bisa berdialog dengan idolanya, atau Mas Leo yang mendapatkan penggemar akut sehingga gema eksistensinya terpelihara. Terima kasih kepada para LKers yang dari luar kota, Mas Gamawan (Bandung), Bang Abing dan Dewi Persada (Bangka), Mas Noereska dan Mahatmanto (Jogja), Mas Santoso (Sangatta). Terima kasih kepada adik tersayang Happy Salma yang bersedia melebur dalam ”aliran” sempalan ini. Terima kasih kepada sahabat Arya Gunawan, penggemar yang pernah membawa Mas Leo menginjak tanah Aceh untuk pertama kalinya. Terima kasih kepada Tika Bisono, psikolog dan Puteri Indonesia tempo dulu, yang pasti akan banyak mendapatkan pasien di sini. Terima kasih kepada seluruh LKers baik yang pintar bermusik, bernyanyi, dan hanya tepuk tangan saja. Terima kasih untuk para LKers yang rumahnya pernah menjadi tempat latihan sampai para tetangga mengira ada konser dadakan. Terima kasih untuk teman-teman security yang menjaga kendaraan kita di luar sana.
Setelah diskusi yang santai nanti, ada sajian musik lagu-lagu Leo Kristi dengan para musisi yang akan dikenalkan saat tampil. Kami kedatangan vokalis tamu, Devi, dari Sanggar Matahari, yang ternyata adalah teman SMP Rezza Suhendra, gitaris andal LKers. Kami telah siapkan 30 lagu. Kami juga akan memutar film Soerabaia 45(Bung Tomo), Sutan Syahrir, dan kesaksian Tanah Merah in Memeoriam yang dibaca oleh Ramdan Malik, pembacaan puisi Romo Sindhu oleh Henry Ismono, cerita Aceh pasca tsunami oleh Mbak Mardiyah, dan entah siapa lagi. Dan yang tak kalah penting, pada sore ini juga dibuka pameran foto karya Mas Henry Widjaja.
Baik, selanjutnya saya mempersilakan ”Bedil Sepuluh Dua” untuk diletuskan.
(Kurnia Effendi)
Selamat sore keluarga kami tercinta, komunitas LeoKristi baik yang tinggal di Jakarta maupun di luar kota. Terima kasih atas kehadiran para sahabat. Kami menanti-nanti datangnya hari ini, seperti menanti saudara kandung yang pulang mudik dari tanah rantau. Jadi silakan berkangen-kangenan di sini tak harus sungkan dan tak enak hati.
Hari ini Hari Pahlawan, 10 November 2007. Hari yang kita tak perlu angkat senjata lagi. Tapi tentu punya cara lain untuk memperingatinya, mengenangnya, menziarahinya. Ya beginilah para LKers melakukannya melalui ”jalan gitar”.
Salam hormat untuk para pahlawan pendiri republik ini. Wangi keringat dan darah mereka masih tercium hingga hari ini. Dalam senja yang memadukan rasa pahit dan manis hidup sepanjang membangun bangsa, kami tak punya apa-apa lagi untuk menabur bunga di atas makam mereka. Kecuali dengan air mata yang menjelma nyanyian. Maka kami akan bersenandung sepenuh perasaan, dari kedalaman hati. Jauh dari kedalaman hati.
Melalui spirit teduh yang mungkin tak tergapai lagi oleh generasi kini, kami hendak melantunkan suara pahlawan dari lirik lagu Leo Kristi. Bagi Leo Kristi dan kami yang mencintai tembang-tembangnya, pahlawan telah menjelma banyak peran: guru, petani, nelayan, pelukis, penari, dan tentu saja ibu sang pecinta sejati.
Setelah serangkaian harmoni yang akan kami sajikan di bagian awal, sebelum diskusi tentang ruh pahlawan dalam lirik Leo Kristi, adik kita Happy Salma akan membacakan sebuah cerpen tentang pahlawan. Judulnya “Impian yang Terenggut”. Cerpen ini ditulis oleh Happy sendiri dan dimuat di majalah Kartini.
Jangan tanyakan kepada Happy nanti, siapa Leo Kristi. Jawabannya akan sama dengan jawaban atas pertanyaan kami kepada Meutya Hafid dan Fifi Aleyda, juga teman-teman satu generasi. Karena itu saya pernah berbisik-bisik dengan Mbak Yoosca, bahwa kita sedang memelihara sebuah ”artefax purba” yang hanya kita sanggup menikmatinya. Benarkah demikian? Saya kira ini hanya persoalan komunikasi yang harus segera dijembatani.
Mudah-mudahan kita yang bernaung dalam LKers tidak sedang mengkultusindividukan seorang seniman unik bernama Imam Sukarno. Bagi kami, Leo Kristi adalah inspirator yang mengikat kita semua menjadi sebuah keluarga. Leo Kristi tentu bukan ”nabi” yang membuat LKers membentuk aliran ”agama” baru. Oleh karena itu sangat boleh untuk ”murtad”. Misalnya saja, di ruangan ini nanti akan dinyanyikan lagu Iwan Fals, Ebiet G. Ade, Iwan Abdulrahman, Franky, atau John Denver dan Keenan Nasution.
Jadi, LKers memang berawal dari kegemaran para insan di dalamnya terhadap lagu-lagu dan lirik yang dibuat dan dinyanyikan Leo Kristi. Kegemaran yang mengurat-darah dan untuk itu boleh Mbak Tika Bisono melakukan penelitian, siapa tahu ini salah satu symptom kelainan jiwa. Air mata bisa menetes ketika teman lain sedang menyanyikan salah satu lagu Mas Leo yang menyentuh. Itu menunjukkan aku-lirik dalam syair Leo Kristi bekerja secara universal, pengalaman yang tak hanya jadi milik diri sendiri. Lalu apa hasil dari reriungan ini nanti? Kami tak menjanjikan apa-apa, jadi rasakan saja sendiri.
Sebelum kita memasuki pengalaman-pengalaman bersama, saya sampaikan salam titipan dari Arief Wicaksono yang sore ini tak dapat hadir karena berada di luar kota. Dia, meski tidak bernaung dalam milis LeoKristi, tetapi melakukan upaya lain, yakni membuat buku ”Simfoni Indonesia”. Buku itu menghimpun seluruh karya musisi dan penyanyi Indonesia yang menggemakan cinta tanah air melalui lagu-lagunya. Saya tidak tahu hasil akhirnya, hanya tahu ada proses yang berkepanjangan mengenai pemasangan 4 lagu Leo Kristi di dalamnya. Mudah-mudahan berakhir dengan happy.
Dan dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada MP Book Point yang untuk kedua kalinya memberikan ruang dan waktu untuk apresiasi kita, bukan hanya terhadap lagu-lagu Leo Kristi, tetapi untuk seni budaya secara umum. Terima kasih kepada Bapak Amir H. Daulay yang merintis milis Leo Kristi. Terima kasih kepada Mas Setiyadi yang didapuk oleh kawan-kawan sebagai Ketua Dewan Syuro Lkers, karena paling sering mendapat kesewotan dari Mas Leo, tapi cintanya tetap menyala tak padam-padam, tak kapok-kapok. Entah siapa yang beruntung, Mas Adi sebagai penggemar yang selalu bisa berdialog dengan idolanya, atau Mas Leo yang mendapatkan penggemar akut sehingga gema eksistensinya terpelihara. Terima kasih kepada para LKers yang dari luar kota, Mas Gamawan (Bandung), Bang Abing dan Dewi Persada (Bangka), Mas Noereska dan Mahatmanto (Jogja), Mas Santoso (Sangatta). Terima kasih kepada adik tersayang Happy Salma yang bersedia melebur dalam ”aliran” sempalan ini. Terima kasih kepada sahabat Arya Gunawan, penggemar yang pernah membawa Mas Leo menginjak tanah Aceh untuk pertama kalinya. Terima kasih kepada Tika Bisono, psikolog dan Puteri Indonesia tempo dulu, yang pasti akan banyak mendapatkan pasien di sini. Terima kasih kepada seluruh LKers baik yang pintar bermusik, bernyanyi, dan hanya tepuk tangan saja. Terima kasih untuk para LKers yang rumahnya pernah menjadi tempat latihan sampai para tetangga mengira ada konser dadakan. Terima kasih untuk teman-teman security yang menjaga kendaraan kita di luar sana.
Setelah diskusi yang santai nanti, ada sajian musik lagu-lagu Leo Kristi dengan para musisi yang akan dikenalkan saat tampil. Kami kedatangan vokalis tamu, Devi, dari Sanggar Matahari, yang ternyata adalah teman SMP Rezza Suhendra, gitaris andal LKers. Kami telah siapkan 30 lagu. Kami juga akan memutar film Soerabaia 45(Bung Tomo), Sutan Syahrir, dan kesaksian Tanah Merah in Memeoriam yang dibaca oleh Ramdan Malik, pembacaan puisi Romo Sindhu oleh Henry Ismono, cerita Aceh pasca tsunami oleh Mbak Mardiyah, dan entah siapa lagi. Dan yang tak kalah penting, pada sore ini juga dibuka pameran foto karya Mas Henry Widjaja.
Baik, selanjutnya saya mempersilakan ”Bedil Sepuluh Dua” untuk diletuskan.
(Kurnia Effendi)
Source: Sepanjang Braga, Monday 26 November 2007
No comments:
Post a Comment