Belakangan muncul garapan seni yang dinamakan musikalisasi puisi. Sebagai sebuah karya sastra, ternyata puisi lebih indah dan lebih melodis manakala dikemas dalam musik. Dan, lebih mendekati pementasan drama atau teater. Bahkan, sajian ini dapat dinikmati oleh publik yang lebih luas. Untuk lebih menggairahkan perkembangan musikalisasi puisi di Bali, baru-baru ini Bali Post kembali menggelar lomba tersebut. Lomba serangkaian HUT ke-55 Bali Post itu diikuti 24 peserta. Jumlah peserta yang tergolong cukup lumayan banyak. Apa sesungguhnya musikalisasi puisi itu? Kapan musikalisasi puisi berkembang di Bali?
Musikalisasi puisi berkembang di Bali sekitar tahun 1990. Mulai marak sekitar tahun 2000 saat Bali Post mengadakan lomba musikalisasi puisi bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Propinsi Bali. ''Pada awal perkembangannya, belum ada peserta yang begitu menonjol. Bahkan pada lomba tahun 2000 lalu, tercatat hanya dua yang berkualitas,'' kata penyair Tan Lioe Ie.
Penyair yang juga salah seorang tim juri lomba musikalisasi puisi itu mengatakan, sampai saat ini masih ada yang merancukan musikalisasi puisi dengan seni yang sejenisnya. Musikalisasi puisi dianggap membaca puisi yang diiringi musik. Padahal, musikalisasi puisi berangkat dari puisi kemudian dinyanyikan. Banyak yang terjebak atau asyik dalam musik, sehingga nuansa puisinya terabaikan.
Ia berharap kegiatan ini perlu dilanjutkan. Ini penting, karena lewat ajang seperti itu para penyair dapat lebih mendekatkan karya puisi pada publik yang lebih luas. Dengan demikian puisi akan keluar dari publik tradisionalnya menuju publik yang lebih luas.
Dosen Kerawitan ISI Denpasar Komang Darmayuda, S.Sn. sependapat dengan Tan Lioe Ie. Dalam lomba musikalisasi puisi, banyak peserta terjebak dalam lagu. Puisi yang dipilih hanya dibuatkan melodi, sehingga mucul lagu. ''Banyak peserta terjebak pada puisi yang dilagukan sehingga yang muncul justru lagu. Dalam musikalisasi puisi nuansa puisinya masih tetap kental dan kentara,'' ujar Darmayuda.
Dikatakan, dalam musikalisasi, paling tidak 50 persen unsur puisinya masih tampak. Tidak saja lagunya yang menonjol, tetapi juga spirit dari syairnya juga harus hidup. Sehingga spirit puisi tidak tenggelam oleh irama lagu dam musik yang dibawakan.
Suatu contoh, kata Komang, Ismail Marzuki pernah membuat lagu yang diambil dari puisinya Armin Pane atau Chairil Anwar. Demikian juga Franky membuat lagu yang diambil dari puisi ''Perahu Retak''. Yang lahir kemudian, memang lagu atau garapan musik pop.
Yang terkesan betul-betul musikalisasi puisi, katanya, adalah karya Leo Kristi yang mengambil beberapa puisi. Dalam karyanya itu Leo memang betul-betul menghidupkan suasana puisi.
Ciri khas musikalisasi puisi, katanya, terletak pada suasana teaterikalnya -- penampilannya seperti teater. Dalam pengungkapan lagu, suasana teaterikal itu mesti tetap ada. Jadi tidak menyanyi polos. Musikalisasi pusisi ini tergolong baru di Bali, sehingga tiap orang memiliki penafsiran yang bermacam-macam.
Dikatakan, banyak peserta yang terjebak pada penginterpretasian yang dangkal terhadap apa sesungguhnya ada di balik puisi tersebut. Agar menjadi garapan yang pas, sesungguhnya penggarap musikalisasi puisi bisa bertanya kepada sang penyair. Artinya, ada semacam dialog antara penyair, peserta lomba musikalisasi puisi, dan audiens (masyarakat) itu sendiri.
''Jika sudah paham akan makna puisi itu sendiri, tentu dengan mudah bisa menghidupkan puisi. Tugas kita sebagai orang pertunjukan menghidupkan suasana karya seni, Sehingga pementasan itu memang perlu dan enak ditonton,'' ujarnya.
Komang mengatakan, dengan dikemas dalam musikalisasi, puisi akan lebih bergairah. Terbukti, peserta lomba kali ini jumlahnya cukup lumayan banyak. Ini suatu fenomena yang sangat baik, walaupun orang masih meraba-raba bentuk tradisi baru ini. ''Mudah-mudahan ke depan, bentuk yang pas dari musikalisasi puisi bisa ditemukan,'' ujarnya.
Sementara itu, penyair Warih Wisatsana mengatakan, musikalisasi puisi itu bisa dikatakan terminologi yang belum selesai. Artinya, masih banyak muncul penafsiran. Tetapi, menurut Warih, hal itu tidak terlalu penting. Yang penting, lewat musikalisasi puisi terbuka pergaulan kreatif yang lebih luas.
''Bahasa musik lebih cepat akrab dengan publik yang lebih luas. Sementara puisi kesannya lebih serius. Cenderung untuk kalangan tertentu yang memiliki kefanatikan tersendiri. Seolah-olah puisi itu amat susah dipahami,'' ujar Warih Wisatsana.
Warih setuju dengan Darmayuda, bahwa perlu ada semacam dialog kreatif antara penggarap musikalisasi dengan pencipta puisi. Nampaknya dialog ini kurang terjadi. Dengan adanya dialog antara penyair dan pembawa puisi dalam musikalisasi itu, setidak-tidaknya ada upaya pemahaman bagaimana puisi itu diciptakan.
Melalui pendekatan interteks dan dialog kreatif diharapkan akan membuka peluang puisi yang dimusikalisasi dan tidak kehilangan esensinya. Ketika dihadirkan menjadi suatu pertunjukan panggung dengan musik dan lagu, nuansa atau warna-warna dasar puisi yang diciptakan penyair tetap muncul.
Dikatakan, terkadang muncul kejutan ketika sebuah puisi dilagukan dan diberi sentuhan musik. Ada semacam nada yang sugestif dan melodi yang sublim -- mengantar orang pada asosiasi yang luas dan imajinasi yang lebih kaya. ''Sebagai seorang penyair, tentu saya bisa bercermin kepada puisi yang saya ciptakan. Sebab begitu sudah dilemparkan ke ruang publik, puisi saya itu sudah milik bersama. Dalam pada itu terbuka ruang demokrasi di mana tafsir yang subjektif dan sehat menjadi suatu yang sewajarnya. Jadi itu menurut saya tidak usah diperdebatkan secara ketat soal terminologi musikalisasi,'' ujarnya.
Merupakan langkah strategis, ketika tradisi baru ini muncul dan berkembang di Bali. Dengan demikian akan muncul ruang apresiasi yang lebih luas terhadap karya sastra yang bernama puisi.
Musikalisasi puisi di Bali, katanya, sudah berkembang menarik. Dari lomba yang diselenggarakan Bali Post, Balai Bahasa Denpasar, menunjukkan bahwa peminat musikalisasi puisi terbuka luas.
Peminatnya, tak hanya di kalangan pelajar, juga masyarakat umum. Dibandingkan daerah lain, kehidupan sastra di Bali sudah lumayan menonjol. Ini tidak lepas dari peran semua pihak, terutama para penyair. Demikian juga ruang apresiasi Bali Post Minggu, memiliki peran besar dalam menghidupkan sastra di daerah ini. * subrata
Penyair yang juga salah seorang tim juri lomba musikalisasi puisi itu mengatakan, sampai saat ini masih ada yang merancukan musikalisasi puisi dengan seni yang sejenisnya. Musikalisasi puisi dianggap membaca puisi yang diiringi musik. Padahal, musikalisasi puisi berangkat dari puisi kemudian dinyanyikan. Banyak yang terjebak atau asyik dalam musik, sehingga nuansa puisinya terabaikan.
Ia berharap kegiatan ini perlu dilanjutkan. Ini penting, karena lewat ajang seperti itu para penyair dapat lebih mendekatkan karya puisi pada publik yang lebih luas. Dengan demikian puisi akan keluar dari publik tradisionalnya menuju publik yang lebih luas.
Dosen Kerawitan ISI Denpasar Komang Darmayuda, S.Sn. sependapat dengan Tan Lioe Ie. Dalam lomba musikalisasi puisi, banyak peserta terjebak dalam lagu. Puisi yang dipilih hanya dibuatkan melodi, sehingga mucul lagu. ''Banyak peserta terjebak pada puisi yang dilagukan sehingga yang muncul justru lagu. Dalam musikalisasi puisi nuansa puisinya masih tetap kental dan kentara,'' ujar Darmayuda.
Dikatakan, dalam musikalisasi, paling tidak 50 persen unsur puisinya masih tampak. Tidak saja lagunya yang menonjol, tetapi juga spirit dari syairnya juga harus hidup. Sehingga spirit puisi tidak tenggelam oleh irama lagu dam musik yang dibawakan.
Suatu contoh, kata Komang, Ismail Marzuki pernah membuat lagu yang diambil dari puisinya Armin Pane atau Chairil Anwar. Demikian juga Franky membuat lagu yang diambil dari puisi ''Perahu Retak''. Yang lahir kemudian, memang lagu atau garapan musik pop.
Yang terkesan betul-betul musikalisasi puisi, katanya, adalah karya Leo Kristi yang mengambil beberapa puisi. Dalam karyanya itu Leo memang betul-betul menghidupkan suasana puisi.
Ciri khas musikalisasi puisi, katanya, terletak pada suasana teaterikalnya -- penampilannya seperti teater. Dalam pengungkapan lagu, suasana teaterikal itu mesti tetap ada. Jadi tidak menyanyi polos. Musikalisasi pusisi ini tergolong baru di Bali, sehingga tiap orang memiliki penafsiran yang bermacam-macam.
Dikatakan, banyak peserta yang terjebak pada penginterpretasian yang dangkal terhadap apa sesungguhnya ada di balik puisi tersebut. Agar menjadi garapan yang pas, sesungguhnya penggarap musikalisasi puisi bisa bertanya kepada sang penyair. Artinya, ada semacam dialog antara penyair, peserta lomba musikalisasi puisi, dan audiens (masyarakat) itu sendiri.
''Jika sudah paham akan makna puisi itu sendiri, tentu dengan mudah bisa menghidupkan puisi. Tugas kita sebagai orang pertunjukan menghidupkan suasana karya seni, Sehingga pementasan itu memang perlu dan enak ditonton,'' ujarnya.
Komang mengatakan, dengan dikemas dalam musikalisasi, puisi akan lebih bergairah. Terbukti, peserta lomba kali ini jumlahnya cukup lumayan banyak. Ini suatu fenomena yang sangat baik, walaupun orang masih meraba-raba bentuk tradisi baru ini. ''Mudah-mudahan ke depan, bentuk yang pas dari musikalisasi puisi bisa ditemukan,'' ujarnya.
Sementara itu, penyair Warih Wisatsana mengatakan, musikalisasi puisi itu bisa dikatakan terminologi yang belum selesai. Artinya, masih banyak muncul penafsiran. Tetapi, menurut Warih, hal itu tidak terlalu penting. Yang penting, lewat musikalisasi puisi terbuka pergaulan kreatif yang lebih luas.
''Bahasa musik lebih cepat akrab dengan publik yang lebih luas. Sementara puisi kesannya lebih serius. Cenderung untuk kalangan tertentu yang memiliki kefanatikan tersendiri. Seolah-olah puisi itu amat susah dipahami,'' ujar Warih Wisatsana.
Warih setuju dengan Darmayuda, bahwa perlu ada semacam dialog kreatif antara penggarap musikalisasi dengan pencipta puisi. Nampaknya dialog ini kurang terjadi. Dengan adanya dialog antara penyair dan pembawa puisi dalam musikalisasi itu, setidak-tidaknya ada upaya pemahaman bagaimana puisi itu diciptakan.
Melalui pendekatan interteks dan dialog kreatif diharapkan akan membuka peluang puisi yang dimusikalisasi dan tidak kehilangan esensinya. Ketika dihadirkan menjadi suatu pertunjukan panggung dengan musik dan lagu, nuansa atau warna-warna dasar puisi yang diciptakan penyair tetap muncul.
Dikatakan, terkadang muncul kejutan ketika sebuah puisi dilagukan dan diberi sentuhan musik. Ada semacam nada yang sugestif dan melodi yang sublim -- mengantar orang pada asosiasi yang luas dan imajinasi yang lebih kaya. ''Sebagai seorang penyair, tentu saya bisa bercermin kepada puisi yang saya ciptakan. Sebab begitu sudah dilemparkan ke ruang publik, puisi saya itu sudah milik bersama. Dalam pada itu terbuka ruang demokrasi di mana tafsir yang subjektif dan sehat menjadi suatu yang sewajarnya. Jadi itu menurut saya tidak usah diperdebatkan secara ketat soal terminologi musikalisasi,'' ujarnya.
Merupakan langkah strategis, ketika tradisi baru ini muncul dan berkembang di Bali. Dengan demikian akan muncul ruang apresiasi yang lebih luas terhadap karya sastra yang bernama puisi.
Musikalisasi puisi di Bali, katanya, sudah berkembang menarik. Dari lomba yang diselenggarakan Bali Post, Balai Bahasa Denpasar, menunjukkan bahwa peminat musikalisasi puisi terbuka luas.
Peminatnya, tak hanya di kalangan pelajar, juga masyarakat umum. Dibandingkan daerah lain, kehidupan sastra di Bali sudah lumayan menonjol. Ini tidak lepas dari peran semua pihak, terutama para penyair. Demikian juga ruang apresiasi Bali Post Minggu, memiliki peran besar dalam menghidupkan sastra di daerah ini. * subrata
No comments:
Post a Comment