Saturday, December 29, 2007

Leo Kristi dan Gairah Akustik


WILAYAH apresiasi musik akustik bisa dibilang masih terbatas. Ia masih berkutat pada wilayahnya sendiri. Pegiatnya adalah juga apresiannya, bahkan pengamatnya sekaligus juga pegiatnya. Pun, pasar mereka adalah kalangan mereka sendiri.

Demikian gambaran yang terungkap dari diskusi tentang musik akustik yang menghadirkan musisi Leo Kristi dan pengamat seni Hardiman, di Museum Sidik Jari Denpasar, Minggu (12/8) lalu.
Musik akustik, walau dalam sisi kreativitasnya tak kalah menarik dan punya keistimewaan sendiri, hingga kini baru dinikmati oleh kalangan terbatas. Ia belum mampu mengangkat pamor dan menembus pasaran luas. Juga masih eksklusif dan hanya dikonsumsi pada saat-saat tertetu dan dalam ruang-waktu terbatas pula. Tidak demikian halnya dengan musik pop non-akustik, yang menurut Hardiman, memiliki wilayah apresiasi luas. Pasalnya, realitas pop yang bertalian dengan kesesaatan dan selera orang banyak adalah realitas budaya massa.
Dunia musik, papar Hardiman, adalah dunia yang kaya di mana praktik estetik menjadi tujuan di satu sisi dan di lain sisi praktik industri juga menjadi tujuan yang lain. Realitas itu kemudian diikuti oleh dunia seni rupa saat ini, di mana praktik gubah estetik dengan pasar wacana sebagai tujuan, berebut tempat dengan wacana sebagau tujuan lain.
"Musik akustik yang serupa dengan dunia puisi, sudah saatnya belajar juga pada perpuisian kita. Musik akustik boleh saja menggubah keluasaan estetiknya dengan jalan mencipta lalu memproduksi sendiri rekamannya. Konsekuansi yang langsung dihadapinya juga adalah menyebarluaskan hasil rekamannya itu," saran Hardiman sembari mencontohkan beberapa album musik akustik di Indonesia, termasuk beberapa kaset musikalisasi puisi di Bali, yang diproduksi oleh pegiatnya lewat jalur indie label.

Bagian Lain
Musik akustik sejatinya memang memiliki keistimewaan tersendiri. Hal ini dikatakan Leo Kristi, musisi kondang yang pada 1980-an meramaikan blantika musik Indonesia dengan musik akustik bernuansa patriotismenya. Menurut Leo, musik akustik memiliki kelebihan pada detail-detail yang dibangun musik lain yang berkembang berikutnya. Nilai-nilai detailnya itu antara lain ada pada gaungnya yang tertangkap oleh (dan menggugah) rasa dari dalam jiwa yang menggambarkan jasmani dan rohani yang saling bersinergi. Musik akustik merupakan bagian lain dari manusia yang ingin rasa yang lain.
Musik akustik, nilai Leo, selalu menyediakan ruang kreativitas baru dengan memanfaatkan alat-alat baru yang sederhana dan tak terbatas, yang bisa ditemukan di sekitar kita. Perluasan ruang kreativitas musik akustik selalu ada dan bisa ditemukan di mana-nama, di setiap ruang dan waktu. Ia contohkan perluasan kreativitas untuk musik akustik seperti bunyi-bunyian yang muncul dari tetes air di tebing gua, gemercik air di sawah, suasana di bawah jembatan sungai, di pasar, terminal, hingga stasiun.
Namun, dedengkot musik akustik asal Surabaya itu juga tidak menampik bahwa semua jenis atau aliran musik punya keistimewaan masing-masing. "Semua musik punya rasa keindahan dan memuaskan jiwa penggemarnya. Kita tak bisa menghadap-hadapkan atau menandingkan antara jenis musik yang berbeda. Masing-masing punya akar, punya pengikut atau penggemar," tandas Leo Kristi.

Kontemplasi Dalam

Tentang kemungkinan bersinerginya musik akustik dengan musik elektrik atau bahkan musik berkarakter keras, sebagaimana ditanyakan salah seorang peserta diskusi, Leo memandang itu hal yang bagus dan menjadi kreativitas baru yang bisa melahirkan kontemplasi lebih dalam. "Warna-warna musik akustik yang bersinergi dengan musik elektrik itu bagian dari kemajuan. Kreativitas selalu terbuka dan memungkinkan lahirnya hal baru," kata Leo.
Menanggapi penanya yang mempersoalakan aliran musik cadas yang dinilainmya bisa mempengaruhi jiwa keras orang, Leo menilai, musik cadas tetap merupakan bagian dari keindahan seni dalam aliran musik tersebut. "Yang mengakibatkan dampak keras sifat orang bukan musik cadasnya, tapi cara orang memfungsikan musik itu. Musik cadas semisal rock itu justru bisa dimanfaatkan semangatnya untuk meningkatkan kesehatan. Kalaupun suasananya atau situasi pentasnya kemudian dimanfaatkan untuk memasarkan atau mengonsumsi narkoba oleh pihak tertentu, misalnya, itu persoalan lain," tandasnya.

Agar Belajar
Kembali pada musik akustik, jika ingin digandrungi masyarakat lebih luas, musik akustik sebaiknya jangan terus berasyik-asyik dengan dirinya sendiri. Hardiman menyarankan agar musik akustik belajar dari keteladanan penyair. "Sudah saatnya pegiat musik akustik membangun jaringannya melalui lintas seni di antara musik dengan teater, musik dengan sastra, musik dengan seni rupa pertunjukan, musik dengan tari," saran Hardiman.
Menurut Hardiman yang pernah menempuh studi musik-senirupa di ITB Bandung, jaringan itu bisa juga melalui lintas kelompok seperti musik dengan pelajar dan mahasiswa, musik dengan buruh, musik dengan pesantren, dan masih banyak lagi. "Marilah kita belajar melalui Gus Dur, Emha Ainun Najib, Sapardi Djoko Damono, syukur-syukur jika bisa mencapai kualitas, popularitas, dan keabadian Leo Kristi," tandas Hardiman.
Usai diskusi, tampil Leo Kristi membawakan beberapa lagu atau nomor musik akustiknya, di antaranya lagu "Kaki Langit Cinta Berlabuh", "Lagu Nelayan", "Silang Monas", hingga "Lanjut Usiamu Lanjut Semangatmu".

* nuryana asmaudi

Source : Bali Pos

No comments: