Saturday, December 29, 2007

Akting Jaksa Agung hingga Teater Tanpa Manusia


Jakarta – “Dua puluh tahun yang lalu saya bela Slamet di pengadilan. Ketika Slamet tak datang, saya maju sendiri, saya ditanya, mana pengacaranya, Pak?” ujar Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Ucapannya itu dia lontarkan di atas podium panggung Teater Kecil, Taman Ismail Jakarta, Rabu (27/12).Itu memang “benar-benar” Abdul Rahman Saleh. Pernyataannya pun diungkapkan sebelum dia bermonolog. “Aktor yang Jaksa Agung”—yang pada akhirnya mirip orasi budaya—ini terasa kritis dan unik di antara pertunjukan teater yang lain. Judul pementasannya “Kenapa Harus Takut?” “Pengadilan itu sendiri teater sebenarnya, ada pengkhianatan, suap, sogok, selingkuh, penipuan,” tambahnya.
Itulah bagian dari penampilan Jaksa Agung di tengah momen Hari Jadi Federasi Teater Indonesia (FTI) 2006. Acara yang kedua kalinya diadakan itu memang menyajikan berbagai pementasan selain “Bapak Jaksa Agung”. Selama beberapa puluh menit, eksplorasi teater di atas panggung juga dilakukan dengan saling interaksi antara beberapa aktor “gaek”. Ada Slamet Rahardjo, Ray Sahetapy, Zainal Abidin Domba, Rachman Yakob hingga Rieke Dyah Pitaloka dan Happy Salma. “Ternyata akting begini juga susah. Pertama kali aku bingung akting. Tapi nggak pa-pa, demi silaturahmi orang teater,” ujar Slamet Rahardjo menutup aktingnya di hadapan penonton.Mereka memang melakukannya dengan spontan.
Rachman Yakob yang pada awalnya menemani Ray Sahetapy, senantiasa berucap “Indonesia itu apa?”, diselingi pembacaan kata-kata pendek dari Ray yang mengundang metafor baru. Penonton tertawa, apalagi mendengar celotehan si Oneng di atas panggung. Semua peristiwa teater itu merupakan bagian dari agenda Federasi Teater Indonesia (FTI) 2006 yang menginjak tahun kedua. Pementasan selanjutnya adalah akting dari guru-guru sekolah yang merupakan bagian dari agenda teateralisasi yang dilakukan FTI. Guru-guru yang terpilih adalah dari berbagai sekolah di beberapa provinsi. Pemenang utamanya, adalah guru dari sekolah di Malang, namanya Nunuk Komariah. “Good morning. If you want to be the best…,” ujar Nunuk, seolah menjadi guru bahasa Inggris.
Ruang Teater Kecil pun tiba-tiba disulap menjadi sebuah sekolah dan para hadirin adalah muridnya. Pertunjukan lainnya adalah musik dari Leo Kristi. “Ini gitar biasa dipakai teater jadi suaranya rusak gitu…,” ujar Rieke, mengomentari Leo Kristi yang tampil di atas panggung dan begitu sibuk menyetem gitar. Sekali pun kerap tampil di berbagai kondisi, tak pelak Leo sempat kelimpungan juga terhadap gitar yang terus disetemnya hingga tiga kali di antara dua lagu sajian yang diberikannya.
Teater Manusia dan BendaSebelum acara pementasan itu, beberapa jam sebelumnya FTI yang diproklamirkan sejak 27 Desember 2005 di Teater Halaman, Taman Ismail Marzuki di depan 1.000 orang pekerja teater se-Jabodetabek itu, juga menggelar panel diskusi yang menghadirkan dua pengamat muda yaitu Nirwan A Arsuka dan Wicaksono Adi dengan moderator Arie F Batubara. Tema utama diskusinya adalah “Teater Tanpa Manusia”, tema yang menghadapkan kreator seni teater pada kemungkinan merosotnya kedudukan manusia di atas panggung menggantikan benda yang diperhitungkan posisinya, kian berbicara sebagai simbol kultural yang hidup.
Pembicara Wicaksono Adi mengulik persoalan teater tanpa manusia itu dengan urutan sejarah periode sejak romantik hingga masa modernitas, gerakan surealisme Andre Breton, penjelajahan sampai ujung batas ketidakmungkinan dari tubuh yang dilakukan oleh Artaud. Menurutnya, di kemudian hari, orang Indonesia berkenalan dengan Mesin Hamlet ala Heiner Muller dan alienasi Peter Handke.
Sebelum perkenalan itu kita sudah menemukan Teater SAE dan Afrizal Malna (dengan simbol kebendaan dalam metafora puisinya, red), Teater Kubur dan kemudian juga Teater Payung Hitam (misalnya Sampar yang mengusung kaleng-kaleng menjadi robot ditarik oleh semacam tali-temali, red), yang mengusung mesin dan monster ke atas panggung. “Jika demikian, apakah (teater tanpa manusia) itu merupakan imbalan bagi orang-orang yang berada di tubir jurang modernitas yang gagal dan tradisi yang nyaris jadi kenangan,” ungkapnya. (sihar ramses simatupang)
Sinar Harapan, Sabtu, 30 Desember 2006

No comments: