JAKARTA -- Di panggung, beberapa tali panjang menjulur dari belakang menuju sebuah silinder hitam. Di sebelahnya ada penutup gitar, amplifier, dan kabel-kabel. Silinder tadi menjadi injakan kaki kanan seorang penyanyi dengan rambut agak panjang sebagai tumpuan gitarnya. Vokalnya keras, terkadang lembut sembari memainkan gitar listrik. Di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta, pada Kamis-Jumat malam pekan lalu, bersama tiga musisi ia bersemangat menggelar konser bertajuk "Puisi Gelap". Leo Imam Sukarno atau Leo Kristi, 57 tahun, tak berubah.
Selalu mengawali lagu dengan berkata, "Permisi...." Tapi penonton mesti bersabar beberapa saat karena tangannya malah sibuk menyetem gitar. Ia mengawali konser dengan lagu Kaki Langit Cintaku Berlabuh. Dan penonton bersuit atau bertepuk dan lalu Leo seperti berbisik, "Angin malam berbisik padaku/ Mengapa bersedih/ Pilar-pilar tegar gema memanjang/ Abadi cintaku...." Berikutnya banyak gurauan Leo dan celetukan penonton khas Jawa Timuran. Setiap ia bilang permisi, ada yang menyahut, "Iyo", "Oke", atau "Yo, wis kono".
Kali lain Leo melantunkan tembang mengentak-entak dengan kocokan gitarnya yang garang, Tanah Merah in Memoriam. Di sela lagu Leo juga bertutur. Ia mengajak penonton bercerita mengenai hobi barunya, naik sepeda. Ia berteori tentang bagaimana mengayuh sepeda agar tak cepat capek. Begitulah, lewat syair dia memang bercerita tentang apa saja. Penonton pun kemudian meminta untuk bernyanyi. Dan seperti biasa Leo cengengesan. "Lagu opo yo," gumamnya. "Ah iki wae," kata Leo gembira.
Ia lalu berbisik tentang bagaimana belakangan begitu banyak terjadi bencana di negeri ini. Karena itu, agar bencana-bencana tidak jadi sekadar kenangan buruk, Leo menyanyikan Bencana Tanah Negara dalam album pertamanya Nyanyian Fajar (1976). "Rumah-rumah roboh, sekolah-sekolah roboh, jangan sampai rumah-rumah dan sekolah-sekolah di dalam diri kita yang roboh," kata Leo sebelum memulai. Dalam Apa dan Siapa di situs Pusat Data Analisa TEMPO, anak kedua dari empat bersaudara ini sejak di SD aktif dalam kegiatan menyanyi di gereja, bagian dari kegiatan sekolahnya yang Kristen. Ia pernah berkata "Saya menerima musik sebagai sahabat, menyambut nyanyian sebagai kecintaan." Di SMP pula ia mendapat sebuah gitar dari ayahnya.
Musik Leo, yang lahir atas nama grup Konser Rakyat, menyenandungkan balada, cinta bangsa, dan kisah-kisah rakyat. Lebih banyak dalam irama folk dan country. Dalam konser kali ini Leo menyanyikan tak kurang 16 lagu dan sejumlah bonus. Ia mengajak Mung, yang biasanya bermain bas, Grece, Liliek Jas Q., dan Louise pada vokal. Juga pemain biola Lili dan celo Jassin. "Sedangkan Firda wira-wiri," kata dia. Firda adalah perempuan yang dipercaya Leo mengurusi dengung yang selalu keluar dari amplifier. Yang istimewa, Leo sempat berduet dengan Ryan Lutfi, 12 tahun, siswi SMP yang pintar bermain gitar. Kata Leo, ayah Ryan sejak dulu menjadi pengagumnya. "Ryan ini dari Buaran Empang, Jakarta, tempat saya sering nongkrong," ujar Leo memperkenalkan. Ia selalu menikmati saat-saat perjalanan ke sebuah kota. Syairnya juga bisa berisi ungkapan cinta, kerinduan, pengalaman hidup, dan perjalanan.
Cobalah simak Lewat Kiara Condong. Ia bercerita dari atas kereta dan bertemu, "Seorang gadis bertelanjang dada. Berkeramas dan sempat kulihat tisik kainnya." Cuma, sebagaimana diakuinya, tidak produktif. Sejak album Catur Paramita (1993), dalam setiap konser Leo hanya menyanyikan lagu-lagu yang praktis sudah dikenal publik. Ada beberapa lagu yang sudah direkam tapi belum diedarkan, seperti Tembang Lestari dan Silmon Blues. DWI ARJANTO
Source : Koran Tempo , Senin 09 Mei 2005
No comments:
Post a Comment