KETIKA seorang gadis muncul di panggung dan mengucapkan //...apa yang tersayat dalam diriku/ ada pada kalian/ tapi mungkin kalian tak tahu...//, kelompok Konser Rakyat Leo Kristi masih menjanjikan pertunjukan yang "serius". Apalagi ketika beberapa orang berteriak-teriak dalam kegelapan agar lilin segera dinyalakan, ada suasana teatrikal, yang kira-kira bakal mewujud dalam pertunjukan berikutnya.
Namun, ah, ketika Leo Kristi mengawali konser bertajuk "Puisi Gelap" itu 5-6 Mei 2005 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta, nyatalah ia tetap liar. Puisi penyair Sutardji Calzoum Bachri tadi hanya dijadikan pengantar yang bisu, karena Leo kemudian asyik memasuki dunia penuh nostalgik. Tak ada yang berubah pada pemusik yang dijuluki trubador itu. Kaki kanannya tetap menjejak tong untuk menyangga gitar akustiknya yang lusuh. Bedanya, rambutnya yang panjang kini disemir merah bagian ujungnya. Karena itu pula setiap saat Leo mengeluh, "Ah ini cat kok meleleh mata, piye toh...."
Benar pula dugaan banyak orang, tepatnya penonton setianya, Leo pasti tampil semaunya. Ia tak pernah melakukan persiapan, semisal mengatur sound system agar tak mendengung atau menyetem gitarnya sebelum naik pentas, sehingga ia tak perlu harus mengulanginya setiap usai membawakan satu lagu.
"Bertahun-tahun, mungkin sudah 30 tahun, baru bisa beli ampli akustik, belum bisa masangnya, volumenya aja ndak tahu," kata Leo seperti pemakluman. Dan anehnya, para penggemarnya selalu maklum. Seburuk apa pun "penampilan" Leo di atas pentas, terutama untuk hal-hal teknis pertunjukan, mereka kok ya selalu memberi maaf.
Setelah mengawali dengan lagu Kaki Langit Cintaku Berlabuh, dan penonton bersuit atau bertepuk, Leo seperti berbisik, "Angin malam berbisik padaku/ Mengapa bersedih/ Pilar-pilar tegar gema memanjang/ Abadi cintaku...."
Berikutnya ia lantunkan tembang mengentak-entak dengan kocokan gitarnya yang garang, Tanah Merah in Memoriam. Buntutnya yang kurang enak, eh, Leo malah mengajak penonton bercerita tentang hobi barunya naik sepeda. (Huh!) Ia berteori tentang bagaimana mengayuh sepeda agar tak cepat capek.
Penonton pun kemudian meminta untuk bernyanyi. Dan seperti biasa Leo cengengesan di panggung. "Lagu opo yo...," gumamnya. "Ah iki wae," kata Leo penuh gembira. Ia lalu berbisik tentang bagaimana belakangan begitu banyak terjadi bencana di negeri ini. Karena itu agar bencana-bencana tidak jadi sekadar kenangan buruk, Leo menyanyikan Bencana Tanah Negara yang terangkum dalam album pertamanya Nyanyian Fajar (1976).
"Rumah-rumah roboh, sekolah-sekolah roboh, jangan sampai rumah-rumah dan sekolah-sekolah di dalam diri kita yang roboh," kata Leo sebelum memulai.
Dalam konser kali ini, Leo kembali mengajak Mung, yang biasanya bermain bas dan Dian Amaliasari pada vokal. Ia juga mengajak pemain biola Lili dan selo Yasin. "Sedangkan Firda wira-wiri," kata dia. Firda adalah perempuan yang dipercaya Leo untuk hilir mudik mengurusi dengung yang selalu keluar dari ampli. Serta tak lupa pula mengajak Rian Luis, seorang gadis kecil pemain gitar, yang kata Leo, ayahnya sejak dulu menjadi pengagumnya. "Rian Luis ini dari Buaran Empang, Jakarta, di mana saya sering nongkrong," ujar Leo memperkenalkan.
HAL yang barangkali patut dicermati dari pemusik-pengembara ini, ia selalu tak ingin berada dalam jebakan kemapanan. Karena itu pula ia selalu menikmati saat-saat perjalanan ke sebuah kota. Sekarang ini, tuturnya, ia sedang menyukai Surabaya lagi. "Banyak hal yang konsisten terjadi di sini. Kota ini menyimpan banyak potensi, tetapi tak ada yang tahu menggalinya," kata Leo.
Hah, itu selalu perkataan yang muncul setiap kali Leo mendatangi sebuah kota. Cobalah ikuti lagunya Lewat Kiara Condong. Ia bercerita dari atas kereta ia temui, "Seorang gadis berkeramas dan sempat kulihat tisik kainnya."
Cuma celakanya, ia termasuk sebagaimana diakuinya, tidak produktif. Sejak keluarnya album Catur Paramita (1993), dalam setiap konsernya Leo hanya menyanyikan lagu-lagu yang praktis sudah dikenal publiknya.
Ada beberapa lagu yang sudah direkam, tetapi belum diedarkan seperti Tembang Lestari dan Silmon Blues, serta lagu yang belum direkam seperti Brand New Peace. Ini pun sudah ia nyanyikan dalam beberapa kali konsernya di Jakarta. Jadi keinginannya untuk tidak dijebak kemapanan, malah bisa berarti sebaliknya. Ia senantiasa seperti "menyodorkan" dirinya sendiri dalam kemapanan konser-konsernya yang tanpa persiapan itu.
Memang rada absurd kalau mencari relasi antara kesukaan mengembara (menolak kemapanan) dengan produktivitas yang rendah. Karena keduanya sesungguhnya tidaklah berhubungan langsung. Mengembara adalah "pekerjaan" lain dari produktivitas. Cuma saja, seharusnya pengembaraan berarti memperkaya pengalaman dan kemudian memperbanyak karya.
Pada Leo relasi semacam ini seperti tidak berlaku. Ia mengembara bukan untuk tujuan menggelar konser nantinya. Oleh karena itu pula ia merasa tidak perlu mempersiapkan karya. Toh lagu-lagu yang ia rekam sendiri saja sampai kini tidak menemukan produser. "Selalu tidak cocok soal harga," kata Leo memberi alasan. Kita tahu itu alasan semata, karena pada suatu saat sebuah lembaga menawarinya "bekerja" untuk melahirkan album, tetapi Leo malah tidak pernah nongol. Gila kan?
Maka dalam konser-konser belakangan ini di Jakarta, hal yang tetap baru adalah para pendukungnya. Leo selalu berhasil mendapatkan "korban-korban" baru, untuk ditulari "kegilaan" kepada musik rakyat. Sekarang misalnya ada Rian Luis, gadis kecil tapi bersuara lantang itu. Dan besok, mungkin anak-anak dari para penontonnya malam itu ya.
Jadi sudahlah, sebaiknya kita berhenti berharap terlalu banyak kepada Leo Kristi. Toh ia akan datang dengan kenangan-kenangan di masa lalu, di mana sawah, gubuk reot, burung-burung, perempuan desa, serta derit roda kereta, akan hadir kembali dalam setiap konsernya. Apa itu tanda ia sudah berhenti? Ah, nyatanya ia masih jadi pengembara yang kesepian dan tetap liar....(CAN)
Kompas, Minggu, 08 Mei 2005
No comments:
Post a Comment