saat pulang kini telah tiba
kereta pagi berangkat siang hari
satu gerbong seratus penumpang
di sela-sela tumpukan keranjang dan karung-karung
perempuan berteriak ribut
bayi-bayi menangis
huuu, jalan menuju kota, gaduh slalu…
Ketika Leo Kristi menulis lirik lagu di atas, Di Deretan Rel-rel, yang dirilis tahun 1976 dalam album “Nyanyian Fajar”, saya agak yakin, dia tidak sedang mengkritik siapa pun. Tidak sedang mencemooh jawatan kereta api, Menteri Perhubungan, atau bahkan pemerintah. Ia tentu (hanya) sedang memotret, memandang dan merekam realita, mengemas kesaksian, menjadi sebuah senandung penuh penghayatan. Setidaknya, di sana ada suara peluit masinis, gojes-gojes mesin uap lokomotif yang ditiru oleh mulut Leo secara ekspresif. Di sana hadir suasana yang kita acap tahu, bahkan mengalami.
Kereta api, alias sepur, hampir menjadi bagian dari pengalaman kita semua.
Oleh karena itu, tak seorang pun asing dengan nyanyian masa kecil: Naik kereta api tut-tut-tut, siapa hendak turut? Ke Bandung, Surabaya. Bolehlah naik dengan percuma. Ayo temanku lekas naik. Keretaku tak berhenti lama…
Tapi sekarang ini, mana ada kereta api yang kita tumpangi dengan gratis? Banyak, jawab teman saya. Hah, apakah itu di sebuah taman wisata yang memang menyediakan fasilitas kereta-mini untuk keliling area menikmati tiap sudut tempat? Ternyata bukan. Ini sungguhan. Ada jadwal, strategi, dan tempat, yang akhirnya menjadi rutin dan bagian dari ‘langganan’. Pada jam tertentu, dari stasiun tertentu, di Jabotabek ini, ‘disediakan’ kesempatan untuk membayar separuh tarip kepada kondektur. Dengan kata lain, tidak membeli karcis. Ada juga, pada kesempatan yang lebih tertentu lagi, penumpang akan diantar ke wilayah tempat tinggalnya tanpa membayar, karena memang tidak ada lagi pemeriksaan.
Andai Jawatan Kereta Api senantiasa rugi, percayakah kita? Dengan praktik yang tidak patut itu, tentu saja, apa boleh buat, bisnis kereta api merugi. Terlepas dari kondisi itu, fasilitas apa sebenarnya yang diberikan jasa transportasi orang banyak itu kepada penumpang? Tempat duduk di atap gerbong? (Tentu ini kemauan penumpang, tapi seharusnya dilarang). Sebuah toilet yang layak? (Kadang-kadang menjadi ruang penumpang cadangan, atau tempat ngumpet si penumpang gratis, walau aroma amoniaknya menyengat). Jadwal yang tepat waktu? (Ah, oleh seringnya terlambat, justru aneh jika kereta api tiba persis dengan skedul).
Padahal, dengan rel yang secara spesifik berbeda karakter dibanding jalan raya, kesempatan untuk istimewa tentu lebih banyak. Sebuah bus malam boleh antre karena jalan yang dilaluinya dipenuhi truk-gandeng yang merayap lamban, atau terpaksa berhenti oleh kereta api yang melintas di depannya. Travel sekalipun, bisa kempes ban dan harus menepi ke restoran saat penumpangnya hendak rehat makan, sedangkan kereta api semacam rumah kita sendiri, bisa makan seraya memandang lanskap di luar jendela. Atau datanglah ke gerbong restorasi, dengan meja makan yang nyaman.
Tapi kita perlu transportasi yang murah, ujar sebagian rakyat. Mengapa tidak? Murah bukan berarti terlambat berangkat, atau mendapati lantai yang kumuh. Murah bukan berarti masinisnya lena lalu melanggar rerambu. Murah bukan berarti – astaga – penumpang naik lewat jendela karena pintu tak lagi dipercaya, terutama di saat mudik Lebaran. Keamanan bagasi kita juga seharusnya menjadi jaminan bagi tenangnya perjalanan. Sementara, pada musim kompetisi sepakbola nasional, kereta api bergegas cemas oleh perilaku anarkis para bonek. Menunduk pun tak luput dari lemparan batu.
Oh, Indonesia! Mari kita ulang nyanyian Leo Kristi, yang tidak sedang mengkritik siapa pun:
Pagi masih sunyi seperti hatiku
Ketika kududuk di bangku peron
…
(Kurnia Effendi, untuk Jeda tabloid PARLE edisi 64)
Sepanjang Braga, November 24, 2006
kereta pagi berangkat siang hari
satu gerbong seratus penumpang
di sela-sela tumpukan keranjang dan karung-karung
perempuan berteriak ribut
bayi-bayi menangis
huuu, jalan menuju kota, gaduh slalu…
Ketika Leo Kristi menulis lirik lagu di atas, Di Deretan Rel-rel, yang dirilis tahun 1976 dalam album “Nyanyian Fajar”, saya agak yakin, dia tidak sedang mengkritik siapa pun. Tidak sedang mencemooh jawatan kereta api, Menteri Perhubungan, atau bahkan pemerintah. Ia tentu (hanya) sedang memotret, memandang dan merekam realita, mengemas kesaksian, menjadi sebuah senandung penuh penghayatan. Setidaknya, di sana ada suara peluit masinis, gojes-gojes mesin uap lokomotif yang ditiru oleh mulut Leo secara ekspresif. Di sana hadir suasana yang kita acap tahu, bahkan mengalami.
Kereta api, alias sepur, hampir menjadi bagian dari pengalaman kita semua.
Oleh karena itu, tak seorang pun asing dengan nyanyian masa kecil: Naik kereta api tut-tut-tut, siapa hendak turut? Ke Bandung, Surabaya. Bolehlah naik dengan percuma. Ayo temanku lekas naik. Keretaku tak berhenti lama…
Tapi sekarang ini, mana ada kereta api yang kita tumpangi dengan gratis? Banyak, jawab teman saya. Hah, apakah itu di sebuah taman wisata yang memang menyediakan fasilitas kereta-mini untuk keliling area menikmati tiap sudut tempat? Ternyata bukan. Ini sungguhan. Ada jadwal, strategi, dan tempat, yang akhirnya menjadi rutin dan bagian dari ‘langganan’. Pada jam tertentu, dari stasiun tertentu, di Jabotabek ini, ‘disediakan’ kesempatan untuk membayar separuh tarip kepada kondektur. Dengan kata lain, tidak membeli karcis. Ada juga, pada kesempatan yang lebih tertentu lagi, penumpang akan diantar ke wilayah tempat tinggalnya tanpa membayar, karena memang tidak ada lagi pemeriksaan.
Andai Jawatan Kereta Api senantiasa rugi, percayakah kita? Dengan praktik yang tidak patut itu, tentu saja, apa boleh buat, bisnis kereta api merugi. Terlepas dari kondisi itu, fasilitas apa sebenarnya yang diberikan jasa transportasi orang banyak itu kepada penumpang? Tempat duduk di atap gerbong? (Tentu ini kemauan penumpang, tapi seharusnya dilarang). Sebuah toilet yang layak? (Kadang-kadang menjadi ruang penumpang cadangan, atau tempat ngumpet si penumpang gratis, walau aroma amoniaknya menyengat). Jadwal yang tepat waktu? (Ah, oleh seringnya terlambat, justru aneh jika kereta api tiba persis dengan skedul).
Padahal, dengan rel yang secara spesifik berbeda karakter dibanding jalan raya, kesempatan untuk istimewa tentu lebih banyak. Sebuah bus malam boleh antre karena jalan yang dilaluinya dipenuhi truk-gandeng yang merayap lamban, atau terpaksa berhenti oleh kereta api yang melintas di depannya. Travel sekalipun, bisa kempes ban dan harus menepi ke restoran saat penumpangnya hendak rehat makan, sedangkan kereta api semacam rumah kita sendiri, bisa makan seraya memandang lanskap di luar jendela. Atau datanglah ke gerbong restorasi, dengan meja makan yang nyaman.
Tapi kita perlu transportasi yang murah, ujar sebagian rakyat. Mengapa tidak? Murah bukan berarti terlambat berangkat, atau mendapati lantai yang kumuh. Murah bukan berarti masinisnya lena lalu melanggar rerambu. Murah bukan berarti – astaga – penumpang naik lewat jendela karena pintu tak lagi dipercaya, terutama di saat mudik Lebaran. Keamanan bagasi kita juga seharusnya menjadi jaminan bagi tenangnya perjalanan. Sementara, pada musim kompetisi sepakbola nasional, kereta api bergegas cemas oleh perilaku anarkis para bonek. Menunduk pun tak luput dari lemparan batu.
Oh, Indonesia! Mari kita ulang nyanyian Leo Kristi, yang tidak sedang mengkritik siapa pun:
Pagi masih sunyi seperti hatiku
Ketika kududuk di bangku peron
…
(Kurnia Effendi, untuk Jeda tabloid PARLE edisi 64)
Sepanjang Braga, November 24, 2006
No comments:
Post a Comment